Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terbit Pandemi, Haruskah Empati Menepi?

3 Mei 2020   23:41 Diperbarui: 3 Mei 2020   23:41 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Spanduk penolakan pemakaman korban COVID-19, bukti defisitnya empati/Sumber: rmol.id

Ya, empati inilah yang tampaknya hilang dari perikehidupan masyarakat Indonesia, yang turut tergerus akibat virus Korona.

Di Bandung, akhir Maret, seorang wanita setengah baya yang pingsan di tepi jalan pada siang hari dibiarkan terlantar berjam-jam. Orang-orang takut menolongnya, karena mengira ia terinfeksi virus Corona. Ternyata, setelah polisi dan petugas medis turun tangan, si ibu hanya kecapekan karena belum sarapan.

Demikian juga di Tangerang, pada bulan yang sama, seorang pengendara ojek online (ojol) yang terkapar pingsan kelelahan berjam-jam baru mendapat pertolongan petugas medis. Orang-orang yang lalu-lalang di sekitarnya kelewat paranoid akan virus Korona.

Yang lebih tragis, di awal April, seorang gelandangan tua di Palembang dibiarkan meregang nyawa tanpa pertolongan di tengah keramaian sebuah pasar tradisional. Lagi-lagi ketakutan berlebihan akan COVID-19 sedemikian mendera orang-orang yang ada untuk mengulurkan tangan.

Virus Korona telah mengubah batas kemanusiaan kita, hingga membuat kita tidak lagi manusiawi.

Baca Juga: Kriminalisasi Said Didu dan Ravio Patra, Sekuel Hikayat Orba?

Dua kubu ekstrem

Dan dari kalangan yang defisit empati, ada dua kubu ekstrem, yang saya amati. Yang pertama, kubu santuy alias kelewat santai dan cuek.

Mereka langgar aturan PSBB dengan tetap santai berkeliaran keluar rumah tanpa tujuan yang jelas dan urgen. Dalam hal ini, Jamah Tabligh yang bahkan seakan menantang takdir Tuhan dengan sporadis mengadakan perkumpulan dalam massa besar, seperti di Makassar dan banyak tempat lainnya, dapat digolongkan ke dalam kelompok ini.

Termasuk juga kalangan fanatik namun miskin ilmu yang tetap kekeuh menyelenggarakan sholat lima waktu, Jumatan dan Tarawih berjamaah di Jakarta dan di banyak zona merah lainnya di Indonesia. Terlebih lagi jamaah masjid di Makassar yang sampai berdemo rusuh menuntut dibukanya masjid untuk menyelenggarakan sholat Tarawih kendati kawasannya tergolong zona merah.

Yang kedua, kubu paranoid. Inilah kalangan yang aktif melakukan penolakan atas pemakaman korban COVID-19 di berbagai wilayah di Indonesia, juga mengusir para perawat dan petugas medis dari tempat indekosnya, dan bahkan menyumpahi para petugas medis di medsos yang dianggap sebagai sumber penyebaran wabah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun