Kehadiran Ruangguru sebagai salah satu bimbingan belajar daring (online) di Indonesia memang fenomenal. Kendati bukan bimbel daring pertama di Indonesia, namun perusahaan rintisan (start-up) di bawah naungan Lippo Group dan terdaftar sebagai perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang induknya terdaftar di Singapura ini sukses merebut perhatian publik tanah air. Salah satunya dengan bombardemen promosi iklannya di sebagian besar TV swasta yang luar biasa deras. Bahkan, maaf, sudah sampai pada tahap memuakkan, saking bertubi-tubinya.
Pamor start-up besutan Belva Devara (alumnus Harvard University dan mantan stafsus milenial) dan Iman Usman (alumnus FISIP UI dan Columbia University) ini kian mencorong setelah melalui anak perusahaannya, Skill Academy, sukses menjadi mitra Kartu Prakerja yang menyediakan berbagai jasa pelatihan daring, mulai dari pelatihan memancing, ojek online, copywriting, jurnalistik, hingga bahasa asing. Ibarat toko kelontong, semuanya ada. Dalam bahasa pedagang kekinian, palugada alias apa lu mau gue ada.
Dalam bisnis, terlepas dari apakah penunjukannya bersifat tender atau ditunjuk langsung atau apakah ada konflik kepentingan antara posisi Belva yang CEO Ruangguru dan posisi stafsus milenial saat itu, ini toh sah-sah saja. Namanya juga berdagang, yang tujuannya mencari laba sebesar-besarnya.
Namun tak ada gading yang tak retak. Toh, rumah tangga Gading Marten dan Gisel pun turut retak juga. Apalagi gading yang tampaknya semengkilap pualam, padahal sejatinya sekualitas tegel.
Alhasil, sebagaimana dilansir oleh Warta Ekonomi, ketika seorang Agustinus Edy Kristianto yang juga pendiri sebuah portal berita nasional mengungkapkan kekecewaannya selepas mengikuti pelatihan jurnalistik daring dari Skill Academy dalam program Kartu Prakerja, itu juga sah-sah saja.
Toh, namanya ia konsumen, yang telah membayar dari dana subsidi APBN dalam Kartu Prakerja yang dimilikinya. Meskipun, entah kenapa, Agustinus yang, menurutnya, telah jujur menuliskan status sebagai bukan korban PHK tetap diakui sebagai peserta dan berhak mendapat subsidi APBN tersebut. Ini tentu persoalan "bocornya" sistem yang perlu diperhatikan segera, agar program mulia ini tidak salah sasaran.
Awalnya, menurut cerita Agustinus dalam postingan di akun Facebook, ia mendaftar Kartu Prakerja pada 16 April 2020. Kemudian, pada 29 April 2020, Agustinus lulus pelatihan dan mendapat sertifikat berjudul "Jurnalistik: Menulis Naskah Berita Seperti Jurnalis Andal" yang bertanda tangan Adamas Belva Syah Devara, CEO Skill Academy Ruangguru.
Sebagai jurnalis senior, Agustinus mempertanyakan mengapa Belva yang tidak berkecimpung di dunia pers bisa menandatangani sertifikat kompetensi tersebut.
"Sebuah sertifikat yang bukan dari pihak yang berkompeten dalam dunia pers, semacam Dewan Pers, Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), atau Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y)," demikian menurut Agustinus.
Dari aspek idealisme, kritik Agustinus tentu dapat diterima. Bagaimana pun, skill atau keterampilan jurnalistik jelaslah bukan keterampilan sembarangan, atau yang mudah dipelajari dalam waktu singkat. Tentu saja pihak pemateri maupun penguji dalam sebuah pelatihan seyogyanya memiliki kompetensi tepercaya dan pengalaman teruji dalam bidang yang dilatihkan atau diujikan.
Namun, Agustinus mungkin lupa posisi Ruangguru tentu tidak selevel Dewan Pers, LPDS atau lembaga sertifikasi kompetensi jurnalistik yang disebutkannya tadi. Beda maqom, menurut istilah anak pesantren. Karena ekspektasi sasaran dan tujuan pelatihannya pun tidak setegas (atau bahkan tidak jelas?) sebagaimana yang sudah menjadi Standard Operating Procedure (SOP) lembaga-lembaga prestisius tersebut. Bukankah toko kelontong juga berbeda level dengan supermarket?
Sejatinya, dalam hal ini, Ruangguru adalah penjual bahkan makelar. Memperantarai jual beli jasa pelatihan dan memperoleh untung dari transaksi tersebut, tanpa harus pusing-pusing memikirkan otoritas penandatangan sertifikat maupun kompetensi serta pengalaman si penandatangan. Â Yang penting cuan, Bro. Gitu aja kok repot, jika meminjam istilah khas mendiang Gus Dur.
Alhasil, dalam kerangka seperti itulah kita harus memandang posisi Ruangguru ketika diterpa kasus lainnya yang juga terkait pelatihan jurnalistik.
Dari Kumparan.com, salah seorang pengajar di Ruangguru, Prita Kusuma, yang juga seorang jurnalis, meminta video pelatihan jurnalistiknya ditarik dari program Kartu Prakerja.
Karena, menurut Prita, video itu dibayarkan secara pribadi oleh Ruangguru, bukan dengan dana APBN yang disalurkan melalui Kartu Prakerja. Dan Prita sebagai pemegang hak atas video pelatihan tersebut  tidak diberitahukan oleh pihak Ruangguru perihal pemanfaatan videonya untuk program Kartu Prakerja.
"Tim Skill Academy memastikan kelas tersebut tidak ada di paket Prakerja per tanggal 2 Mei 2020," ujar Prita yang kini bekerja sebagai jurnalis di sebuah kantor berita asing di Jakarta.
Yo wis, jika tidak setuju, video bisa dicabut. Jika tidak, ya, lanjut terus, mungkin demikian yang ada dalam benak pihak manajemen Skill Academy Ruangguru. Sepraktis dan sesimpel itu. Selayaknya pragmatisme pedagang dan makelar.
Gitu aja kok repot, Bro!
Jakarta, 3 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H