Dalam konteks linguistik, ungkapan "kawin cina buta" ini tampaknya semakna dengan ungkapan "akal keling" yang bermakna "tukang tipu-tipu" atau "licik".
Lantas apakah semua ungkapan itu bentuk kesengajaan?
Menurut Remy Sylado, sang sastrawan dan budayawan non-Muslim berdarah Minahasa dan Tionghoa yang juga multi-lingual atau poliglot (menguasai banyak bahasa), "ungkapan itu bukan dimaksudkan untuk menghina, melainkan salah satu keterbatasan visi dalam gaya kias bahasa Melayu untuk menyampaikan gambaran-gambaran distorsi."
Maksudnya, khazanah bahasa Melayu terlalu "miskin" untuk mendeskripsikan bentuk distorsi atau penyimpangan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, sehingga dalam keterbatasan tersebut, mengambil apa yang ada saja atau yang bahkan berdasarkan prasangka budaya yang hidup dalam masyarakat penuturnya.
Remy Sylado, dengan segenap wawasan budaya dan pengetahuan bahasanya, memang bijak, terlepas dari apa pun latar belakang primordialnya.
Tapi jika Anda berbeda pendapat atau pandangan dengan sang novelis Cau Bau Kan tersebut, itu sah-sah saja. Karena itulah konsekuensi keberagaman di Indonesia, negeri tercinta kita ini.
Pada akhirnya, sebagaimana tersebut dalam meme tentang harmoni sosial, "sing penting rukun", yang penting rukun antara sesama warga bangsa Indonesia.
Jakarta, 27 April 2020
Referensi: