Dan sebagai bentuk penghormatan terhadap tuan rumah, sesuai etiket atau tata krama pergaulan bangsawan Eropa, sang utusan mengecup tangan istri Trunojoyo. Menurutnya, itu suatu hal yang lazim dan patut dilakukan sebagai tanda penghormatan dari seorang tamu yang datang berkunjung.
Tapi hal tersebut justru dipersepsikan berbeda oleh sang tuan rumah, Pangeran Trunojoyo. Dalam adat ketimuran, itu justru tindakan yang dianggap sangat kurang ajar dan melecehkan kehormatan tuan rumah.
Sebagai orang Timur, Trunojoyo tidak rela istrinya disentuh sedemikian rupa oleh lelaki asing. Terlebih dalam budaya Madura yang kental keislamannya, lelaki non-mahram (tidak terikat tali pernikahan atau bukan kerabat) dilarang menyentuh perempuan yang bukan mahramnya.
Singkat cerita, sang utusan VOC kemudian tewas di ujung keris Trunojoyo. Dan VOC yang murka karena merasa dihinakan kemudian mengirim armada perangnya menggempur Madura, dan berkobarlah Perang Trunojoyo pada dasawarsa 1670-an selama sekitar tiga sampai enam tahun. Perang itu pun tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai salah satu bentuk perlawanan rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda.
Hikmahnya, hendaklah kita menjunjung prinsip "di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung".
Prinsip inilah yang juga tidak diindahkan oleh Steven Hadisurya, seorang pemuda Tionghoa, yang memaki Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Zainul Majdi pada 2017 saat keduanya berpapasan di Bandara Changi, Singapura, dengan ungkapan "pribumi tiko". Kasus ini pun sempat ramai dan sukses membelah bangsa ini dengan pisau prasangka rasialis.
"Tiko" yang artinya "tikus kotor" atau, dalam versi lain, juga berarti "hewan yang menjijikkan" konon sudah lazim digunakan dalam khazanah kosakata umpatan kalangan internal Tionghoa terhadap kalangan yang mereka sebut sebagai "pribumi".
Secara lebih luas, ada banyak lagi ungkapan diskriminatif berbau rasialis yang kerap kita dengar atau jumpai di ruang publik negeri ini.
Misalnya, "kelakuanmu Padang sekali!" yang dimaksudkan mengejek seseorang itu sebagai orang yang kikir atau bakhil. Atau, "dasar Ambon!" yang dimaksudkan mencap seseorang sebagai orang yang berperilaku kasar atau ugal-ugalan.
Sebagai orang Betawi asli, saya juga sering diterpa ungkapan diskriminatif "dasar betawi", yang sarat stigma orang Betawi sebagai orang yang bodoh, pemalas, dan tukang kawin.
Sebetulnya, tanpa dipantik kasus "Nasi Anjing" yang abai budaya dan pandir empati itu pun, bangsa ini sudah lama menyimpan bara dalam sekam, berupa prasangka rasialis antara sesama etnis, ras dan penganut agama yang tercermin dalam pelbagai ungkapan diskriminatif tersebut.