Di tingkat rumah tangga, bagi masyarakat Indonesia, secara sederhana, pitawat Menkeu Sri Mulyani sejatinya dapat dibaca sebagai berikut: "Ikat pinggang harus lebih kencang, dada harus lebih lapang." Artinya, kita harus lebih berhemat dan lebih lapang dada menyikapi kondisi yang ada.
Konsekuensinya, demi menjaga stabilitas sistem keuangan pribadi dan rumah tangga, kita harus cerdas berperilaku dalam ketidakpastian ini guna menata kekuatan finansial kita dan keluarga kita.
Terlebih lagi diprediksi pandemi COVID-19 ini dengan segala dampak sosial ekonominya masih akan berlangsung hingga pertengahan tahun 2020. Beberapa prediksi lain bahkan menyebutkan, hingga akhir 2020.
Apa pun itu, betul seperti kata Bu Menkeu, kita harus bersiap-siap, termasuk untuk worst case scenario atau skenario terburuk sekalipun.
Mengencangkan ikat pinggang
Di keluarga kecil saya sendiri, pengencangan ikat pinggang atau penghematan sendiri praktis sudah dimulai sejak pertengahan Maret 2020, sekitar sebulan terakhir, atau sejak masa Work From Home (WFH) dan School From Home (SFH).
Dengan diberlakukannya WFH di kantor saya sejak 16 April sampai 22 Mei mendatang, sebagai karyawan, ada fasilitas uang transportasi harian yang menghilang, tetapi potongan pajak penghasilan (PpH), BPJS, asuransi jiwa, dan tunjangan pensiun masih terus berjalan.
Sementara itu kebutuhan paket kuota data Internet juga meningkat, antara lain untuk keperluan kerja di rumah (untuk buka surel dan telekonferensi daring). Termasuk untuk keperluan SFH anak saya yang menggunakan fasilitas Zoom dan Google Duo untuk kelas online di sekolahnya.
Sementara pundi penghasilan dari pekerjaan sampingan saya sebagai penerjemah lepas (freelance translator) juga berkurang akibat melambannya aktivitas sektor ekonomi dunia belakangan ini akibat gempuran virus Korona.
Dalam sebulan terakhir saja, orderan terjemahan saya menyusut 50 persen. Kabarnya hal yang sama juga dialami rekan-rekan seprofesi.