Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "pitawat" berarti "nasihat" atau petuah". Sementara dalam Tesaurus Alfabetis Bahasa Inggris yang disusun oleh Pusat Bahasa (Mizan, Bandung, 2009), "pitawat" adalah sinonim untuk "peringatan".
Dalam konteks ini, bolehlah disebut pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sepekan silam sebagaimana dikutip CNBC Indonesia pada Jumat, 17 April 2020, sebagai suatu pitawat. Kendati banyak media yang membahasakannya sebagai warning.
Sri Mulyani mengungkapkan kondisi perekonomian global di tengah pandemi COVID-19. Juga tentang pernyataan International Monetary Fund (IMF) bahwa dampak virus Corona (COVID-19) bisa menyebabkan terjadinya krisis sosial. Sejumlah lembaga keuangan dunia juga memprediksi akan terjadi kontraksi ekonomi global pada 2020.
Bahkan perekonomian Tiongkok atau China, sebagai salah satu kekuatan ekonomi utama dunia, tumbuh negatif sebesar minus 6,8 persen per tahun pada kuartal pertama tahun 2020 berdasarkan laporan Biro Statistik Nasional China. Dan ini merupakan kontraksi pertama bagi China sejak negara tirai bambu tersebut mencatat pertumbuhan ekonomi secara Year on Year (YoY) pada 1992 atau 28 tahun silam.
"...Kalau ada guncangan (shock) yang jauh lebih besar, prediksi IMF ini kalau ada shock yang lebih, maka ekonomi Indonesia kemungkinan tahun ini negatif 0,5%. Ini skenario berat. Makanya tidak mungkin semua bisa dilakukan APBN sendiri."
"Dan kita semua harus bersiap-siap menghadapinya," ujar Sri Mulyani yang sempat beberapa kali didapuk sebagai salah satu menteri keuangan terbaik di dunia tersebut.
Pitawat Sri Mulyani memang sangat beralasan.
Diterbitkannya obligasi atau surat utang jumbo global Indonesia senilai 4,3 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau Rp112 triliun (kurs Rp16 ribu per dolar AS) dengan skema pelunasan 50 tahun baru-baru ini menandakan betapa kondisi perekonomian Indonesia tengah menghadapi masalah besar, dan tidak sedang baik-baik saja.
Di sisi lain, hal itu juga merupakan tugas Bank Indonesia (BI) yang salah satu tugas utamanya adalah menjaga stabilitas sistem keuangan, salah satunya dengan menjamin agar kebijakan makroprudensial aman terjaga.
Dalam kerangka kebijakan makroprudensial BI, kontraksi ekonomi global yang tentu berdampak pada kondisi ekonomi nasional itu masuk dalam tahap pemetaan dan pemantauan risiko. Selanjutnya, mulailah masuk tahap pemilihan instrumen kebijakan yang diperlukan beserta implementasinya. Sementara tahap terakhir adalah evaluasi atas pemilihan instrumen kebijakan serta implementasinya tersebut.