Bukankah kita sudah terbiasa dengan istilah "penyesuaian harga" sebagai eufemisme untuk "kenaikan harga"?
Bukankah kita lazim mendengar istilah "pemutusan hubungan kerja" alih-alih "pemecatan"?
Bukankah, di Indonesia ini, kita tahu betul bahwa tidak ada "keluarga miskin"? Yang ada adalah "keluarga prasejahtera".
Yang paling fenomenal, dan cukup berpengaruh sampai sekarang, adalah ketika seorang Fauzi Bowo (gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012) yang karib dipanggil Foke mendefinisikan ulang pemaknaan "banjir" dan "genangan" berdasarkan durasi waktu mengendapnya air di suatu tempat.
Menurut sang insinyur tata kota lulusan Jerman itu, tidak ada "banjir" di Jakarta, yang ada adalah "genangan kecil" dan "genangan besar".
Foke, kendati awalnya seorang dosen Teknik Sipil di almamaternya (Universitas Indonesia), adalah seorang politisi. Ia adalah politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Dan jangan lupakan fakta bahwa Jokowi, selain sebagai kepala negara Republik Indonesia, juga seorang politisi. Ia politisi dari PDIP, separtai dengan Foke.
Publik boleh saja mengenang Jokowi, dalam video lawas di banyak kanal Youtube, saat menjadi wali kota Solo sekian tahun silam (2005-2012), sebagai seseorang yang tampak lugu dan kewalahan menjawab pertanyaan sederhana dari seorang jurnalis TV tentang makna Ramadhan.
Namun, jangan dilupakan betapa trengginasnya Jokowi di panggung pemilihan presiden (pilpres) 2014 dan, terutama, 2019, melibas rivalnya Prabowo Soebianto dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana namun menohok, sekalipun personal, sekaligus mencengangkan kalangan yang meragukan kemampuan komunikasi publik sang "petugas partai" tersebut.
Terlepas dari seberapa besar peran tim pakar atau spin doctor di balik kesuksesan Jokowi mengungguli Prabowo dalam dua kali pilpres berturut-turut, itu menandakan bahwa Machiavelli adalah benar adanya.