Negeri Para Bedebah (NPB), yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada 2012, adalah dwilogi yang terdiri dari Negeri Para Bedebah dan Negeri di Ujung Tanduk.Â
NPB sendiri adalah novel yang berkisah perihal sepak terjang seorang konsultan keuangan dalam upayanya menyelamatkan Bank Semesta di tengah konspirasi para elite di dunia bisnis dan ekonomi.
Jika kita membaca NPB, kita serasa membaca gabungan kisah penelusuran skandal Bank Century di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan sebuah buku populer pada era 2000-an, yakni The Confession of An Economic Hitman karya John Perkins (2004) yang berkisah tentang aksi seorang economic hitman alias bandit ekonomi yang ditugaskan CIA untuk merusak perekonomian negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Mengingat vak Tere Liye (yang bernama asli Darwis dan alumnus FE-UI) di bidang ekonomi, rajutan penggabungan kedua kisah legendaris tersebut terasa mulus, detail, dan menawan.
Sementara versi terjemahan bahasa Indonesia atas The Confession berjudul Pengakuan Seorang Ekonom Perusak diterbikan oleh penerbit Abdi Tandur pada 2005 (penerjemah: Herman Tirtaatmaja dan Dwi Karyani; editor: Â Michael AR. Tosin).
Jika pun NPB sebagai suatu bacaan populer dibaca para pemuda radikalis tersebut, dan juga buku-buku lainnya, entah sebagai bacaan pengisi waktu luang atau sebagai bahan pemerkaya wawasan mereka dalam kerangka ideologi Anarkisme yang diyakini, apakah layak buku-buku itu harus dibuat terpuruk muruahnya dan didakwa sebagai barang bukti tindak kejahatan?
Andai pertanyaan di atas tidak berjawab atau dijawab secara normatif oleh pihak kepolisian, dan juga para pembela atau pendengung (buzzer) pro-rezim, sebagai suatu hal "yang sudah sesuai prosedur pengamanan", kita pun sudah mafhum perihal aneka kekonyolan serupa.
Salah satunya ketika Tim Densus 88, suatu satuan kepolisian khusus anti-terorisme, meringkus para terduga pelaku terorisme beserta barang bukti buku pelajaran bahasa Arab tingkat dasar, yang sama sekali tidak mengandung materi terorisme atau muatan yang bertentangan dengan ideologi negara dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bahkan dengan berkelakar, penggemar film Bollywood tersebut (konon nama pena "Tere Liye" diambil dari salah satu judul film India terkemuka) berharap pihak kepolisian ketagihan membaca NPB sehingga memburu puluhan novelnya yang lain untuk dibaca.