Ramainya berita penolakan sebagian kalangan masyarakat Indonesia di beberapa daerah terhadap jenazah korban COVID-19 yang akan dikuburkan memang cukup memprihatinkan. Terlepas dari pola komunikasi dan sosialisasi pemerintah kepada masyarakat tentang protokol pemulasaraan atau pengurusan jenazah korban virus Korona tersebut, keberatan masyarakat antara lain di Depok (Jawa Barat), Ungaran (Jateng), dan di beberapa tempat di Sulawesi tersebut layak diperhatikan.
Sebagai warga masyarakat yang berdomisili di kawasan lokasi penguburan atau pemakaman jenazah COVID-19 tersebut, wajar mereka merasa khawatir atas kesehatan mereka dan keluarga terhadap penyebaran virus Korona yang mematikan dari jenazah yang akan dikuburkan.
Di sisi lain, jenazah-jenazah tersebut juga punya hak untuk dimakamkan segera.
Terlebih lagi dalam ajaran agama Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia, kewajiban pengurusan termasuk penguburan jenazah Muslim atau Muslimah merupakan fardhu kifayah, yang bermakna kewajiban kolektif atau bersama bagi penduduk di suatu tempat.
Artinya, jika ada jenazah warga atau yang berada di suatu tempat yang tidak segera atau tidak dapat dikuburkan maka itu akan menjadi dosa kolektif yang ditanggung bersama oleh seluruh penduduk yang berdomisili di tempat tersebut.
Sementara itu, mengingat kian masifnya persebaran virus Korona atau Corona hari ini seiring arus pergerakan orang dari episentrum COVID-19 seperti Jabodetabek ke berbagai wilayah di Indonesia jelang bulan puasa dan juga meningkatnya tingkat kematian akibat COVID-19, kendati Corona bukan aib, kekhawatiran akan meningkatnya kebutuhan lahan pemakaman para korban virus Korona juga perlu dipikirkan.
Tidak heran, sama seperti ketika terjadi bencana tsunami Aceh pada 2004 dengan jumlah korban besar dalam waktu bersamaan, muncul wacana kremasi jenazah korban COVID-19 dengan pertimbangan efisiensi proses dan pengiritan lahan pemakaman yang ada.
Dengan sandaran kaidah fikih "mendahulukan mencegah kemudharatan", tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang pernah menjabat sebagai wakil menteri agama di era kepresidenan SBY tersebut memandang kremasi bagi jenazah Muslim merupakan suatu ijtihad dan pengecualian khusus, yang dapat dibenarkan dalam kondisi tertentu.
Tapi tampaknya wacana itu tidak bersambut, karena tidak ada kabar kremasi jenazah Muslim yang dilakukan saat itu. Juga terdapat pro-kontra terutama di kalangan umat Islam tentang usulan metode kremasi yang berbeda dari praktik dan tradisi kebiasaan pemakaman yang biasa diselenggarakan oleh kalangan Muslim.
Yang ada adalah penguburan massal para korban tsunami dalam suatu lubang besar untuk menghindari penyebaran penyakit jika tumpukan mayat tersebut dibiarkan terlalu lama bergelimpangan atau tidak dikuburkan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!