Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

"False Friend", Kawan Palsu yang Kadang Lucu

14 April 2020   18:12 Diperbarui: 14 April 2020   18:34 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dahulu di era 90-an pemerintahan Orde Baru (Orba) yang dipimpin oleh Presiden Soeharto pernah menggalakkan kebijakan kewajiban menggunakan bahasa Indonesia untuk nama-nama badan usaha termasuk pusat perbelanjaan modern atau mall.

Menteri Penerangan Harmoko "berdasarkan arahan daripada bapak presiden", sebagai ujung tombak pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan, gencar sekali "turba" alias "turun ke bawah" (yang di era Jokowi disebut sebagai "blusukan") untuk mengkampanyekannya di berbagai kesempatan, termasuk dalam rangkaian Safari Ramadhan yang rutin dilakukannya tiap tahun sepanjang masa kekuasaan Orba.

Saat itu, terutama di kawasan Jabodetabek, adalah masa kejayaan pertumbuhan mall seiring kebijakan deregulasi ekonomi yang pro-pasar bebas yang digelontorkan Orba. 

Dan sebagian besar mall tersebut, entah untuk kebutuhan tampil keren atau sekadar gimik pemasaran (marketing gimmick), menggunakan nama dalam bahasa Inggris, seperti Kalibata Mall (KBM) dan Pondok Indah Mall (PIM).

KBM, yang didirikan pada 1991, yang terletak di dekat rumah orang tua saya di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan adalah mall generasi awal di Jakarta setelah Pondok Indah Mall. Dan memang setiap akhir pekan terutama malam Minggu, pusat perbelanjaan modern itu luar biasa ramai.

Namun, apa mau dikata, sebagai dampak kebijakan tersebut, pihak manajemen KBM terpaksa mengganti nama Kalibata Mall menjadi "Mal Kalibata". Sebelum menyandang nama Plaza Kalibata seperti sekarang ini, pusat perbelanjaan modern itu sempat kembali menggunakan nama "Kalibata Mall" selepas Reformasi 1998.

Konon penggunaan nama "Mal Kalibata" (dengan satu huruf 'L') tampaknya ingin mengakali peraturan rezim Orba tersebut, dengan mengubah kata "mall" menjadi "mal" dan memindahkannya ke depan, agar sesuai dengan prinsip bahasa Indonesia yang menganut asas Diterangkan-Menerangkan (DM), alih-alih "Kalibata Mall" yang berasas Menerangkan-Diterangkan (MD) sesuai prinsip tata bahasa Inggris.

Kentara betul itu upaya mengakali aturan dengan berusaha agar brand atau jenama awal yakni "Kalibata Mall" tetap bisa diidentifikasi oleh pasar atau konsumen. Demikian tepatnya.

Namun, jelas nama "Mal Kalibata" sangat ngawur dalam tata bahasa Indonesia, juga tidak bermakna apa-apa. 

Bahkan nama "Mal Kalibata" mengandung makna yang buruk jika dipandang dalam sudut bahasa Prancis, yang tentu tidak bagus dalam perspektif fengshui alias tidak membawa hoki atau keberuntungan bagi pemiliknya.

Dalam bahasa Prancis, kata "mal'" berarti "buruk" atau "salah". Kata bahasa Prancis ini, yang berasal dari kata "malapert", kemudian diserap oleh bahasa Inggris, antara lain tampak dalam kata "malfunction" yang artinya "kerusakan fungsi".

Dan versi baku dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk padanan "malfunction" adalah "malafungsi", alih-alih "malfungsi", sebagaimana yang diyakini oleh banyak orang.

Barangkali salah satu pertimbangan Pusat Bahasa sebagai penyusun KBBI untuk menggunakan prefiks "mala" alih-alih "mal" adalah untuk menghindari fenomena "false friend".

"False friend" atau, secara harfiah, berarti "kawan palsu" adalah istilah linguistik untuk menyebutkan dua kata yang memiliki kesamaan bunyi atau penulisan namun memiliki perbedaan makna atau arti.

Cambridge Dictionary mendefinisikan "false friend" sebagai "a word that is often confused with a word in another language with a different meaning because the two words look or sound similar".

Baca Juga: Taat atau Fanatik KBBI?

Contoh "false friend" yang lain adalah kata "cat".

Dalam bahasa Indonesia, kata "cat" mengacu pada suatu zat pewarna untuk mewarnai tembok atau bangunan atau benda. Sementara dalam bahasa Inggris, "cat" merujuk pada nama hewan kucing.

Ada banyak contoh "false friend" atau "kawan palsu" lainnya yang bisa Anda cari dan kumpulkan sendiri untuk perbendaharaan pengetahuan.

Nah, sebagai "kawan palsu", "false friend" terkadang mengundang kelucuan.

Konon ada seorang pelancong bule di Yogyakarta yang kebingungan mencari tiket pesawat terbang untuk kembali ke negara asalnya. Ndilalah, langkahnya terhenti di depan sebuah kios penjual jamu.

"Sir, can I buy ticket, please?" tanya si bule.

"Tiket?" si penjual jamu yang tampak kebingungan justru balik bertanya.

"Yes, ticket. Airplane ticket. I saw you sell it," ujar si bule dengan penuh keyakinan sambil menunjuk tulisan "AIR MANCUR" pada spanduk promosi di depan kios jamu tersebut.

Oalah, rupanya si bule mengira "Air Mancur" itu nama maskapai penerbangan. Padahal itu merek salah satu jamu legendaris di Indonesia.

Saya tidak pernah tahu akhir kisah itu, sebagaimana juga tidak pernah tahu tentang kebenarannya.

Yang jelas itu salah satu contoh "false friend" yang cukup mengena dan menyenangkan untuk dikisahkan ulang sebagai bahan pem(b)elajaran.

Jakarta, 14 April 2020

Baca Juga: Bali Kawin dengan Betawi dan Hekter versus Jegrekan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun