Di tengah kondisi wabah virus Corona hari ini, berita ditangkapnya beberapa tersangka pelaku vandalisme di Tangerang dari suatu kelompok yang disebut oleh kepolisian sebagai kelompok Anarko Sindikalis membuat kita lega tapi juga mengernyitkan dahi pertanda kekhawatiran.
Dikabarkan beberapa pemuda yang menjadi tersangka tersebut melakukan vandalisme berupa pencoretan fasilitas publik dengan seruan-seruan provokatif dan agitatif yang berpotensi memancing kerusuhan, seperti "Kill The Rich" atau "Bunuh Orang-orang Kaya", "Sudah Krisis, Saatnya Membakar", dan "Mau Mati Konyol atau Melawan?"
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), vandalisme adalah "(1) perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lain (keindahan alam dsb); (2) perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas". Dan para pelaku vandalisme disebut "vandal".
Nah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana, para vandal Anarko Sindikalis tersebut berencana melakukan aksi vandalisme massal pada 18 April 2020. Dengan ditangkapnya sebagian anggota kelompok tersebut dan diendusnya rencana aksi tersebut oleh kepolisian lebih awal, patutlah kita menarik napas lega.
Namun, kita layak khawatir dan bingung, jika melihat rekam jejak kelompok Anarko Sindikalis yang pada 2019 telah ditetapkan sebagai biang onar dalam berbagai kerusuhan selama aksi buruh di beberapa kota besar, termasuk Jakarta dan Bandung, dan wajar jika kemudian bertanya-tanya: Anarko yang biang onar kenapa dibiarkan?
Bukankah saat itu Kapolri Tito Karnavian (sekarang Mendagri) bertekad menggulung habis jaringan kelompok tersebut yang disebutnya tersebar luas di berbagai kota di Indonesia?
Anarko Kok Dipiara?
Jaringan kelompok Anarko Sindikalis yang disinyalir menganut ideologi anarko sindikalisme yang anti-kemapanan dan anti-otoritas negara tersebut punya ciri berkostum hitam-hitam dan sering mencoretkan logo huruf A dalam lingkaran sebagai simbol Anarki, suatu ideologi yang mereka yakini sebagai elan vital perjuangan, di berbagai tempat atau fasilitas publik sebagai pertanda eksistensi kelompok mereka.
Di negara mana pun di seluruh dunia, keberadaan kelompok terorganisasi dengan ideologi anarkis tersebut sudah lazim dicurigai, diawasi, atau bahkan ditumpas sejak awal.
Jika pun tidak dilakukan pendekatan tangan besi atau militeristis, setidaknya setiap gerak langkah mereka dipantau hingga potensi kericuhan atau kerusuhan yang hendak ditimbulkan dapat diminimalisasi sedini mungkin dan sekecil mungkin.
Dalam konteks Indonesia, aksi anarkistis Anarko Sindikalis dengan merusak sekolah dan fasilitas publik saat Aksi Buruh 1 Mei 2019 di Jakarta dan Bandung sebetulnya sudah merupakan sinyal kuat bagi kepolisian untuk melakukan pengawasan ketat atas segala sepak terjang sekelompok pemuda radikal tersebut.
Jika kemudian mereka kembali menggeliat dengan aksi terbaru kemarin, lantas apa kerja telik sandi aparat penegak hukum selama setahun ini?
Terlebih lagi jika dikaitkan penetapan tanggal 18 April sebagai puncak aksi mereka nanti dengan kejadian bersejarah sebelumnya di dunia. Sebagai suatu gerakan ideologis, tentu saja tiap langkah mereka terencana sistematis dan sarat simbol filosofis tertentu.
Dan, berdasarkan penelusuran, tanggal 18 April 1963 adalah tanggal terjadinya pengeboman bunuh diri yang dilakukan suatu kelompok militan radikal di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Beirut, Lebanon, yang menewaskan 63 orang dan 17 di antaranya adalah warga negara Amerika Serikat. Dan itu merupakan awal mulanya serangan kekerasan oleh suatu kelompok radikal di Timur Tengah.
Dan sebagai simbol kedigjayaan kapitalisme, Amerika Serikat (AS) adalah simbol otoritas negara kapitalis yang dipersepsikan sebagai musuh besar dalam ideologi kelompok Anarko Sindikalis. Alhasil, setiap serangan atau upaya serangan terhadap AS sedikit banyak menginspirasi mereka untuk melakukan hal yang sama.
Kembali ke konteks Indonesia, tidak heran jika kini muncul dugaan liar bahwa jaringan kelompok Anarko Sindikalis cenderung dibiarkan bahkan dipiara sehingga bertumbuh besar untuk tujuan tertentu, apa pun itu.
Praktik busuk sebagian oknum kepolisian yang "memiara" suatu kelompok preman dengan tujuan untuk "dimanfaatkan" dalam suatu keadaan tertentu sudah menjadi rahasia umum.Â
Demikian juga praktik kotor serupa yang dilakukan sebagian oknum penegak hukum tersebut dengan jaringan bandar narkoba dengan upeti uang jaminan keamanan setiap bulannya.
Hingga muncul pertanyaan berikutnya: Anarko Sindikalis itu sekadar vandal atau justru tumbal?
Jika sekadar vandal, tentu mudah saja mereka dibekuk dan ditumpas habis. Tapi jika lakonnya sebagai tumbal untuk memuluskan suatu rencana tertentu, tentu saja lain perkaranya. Dan akan sangat rumit pembahasannya.
Prakondisi Darurat Sipil?
Perjumpaan antara narasi "Anarko sebagai tumbal" dan wacana "darurat sipil" yang sebelumnya pernah dilontarkan Presiden Jokowi di Istana Negara pada akhir Maret 2020 tentu saja membuat kita kian mengernyitkan dahi.
Kita layak khawatir karena segala prasyarat timbulnya kerusuhan besar di negeri ini saat ini sudah terpenuhi.
Kondisi ekonomi yang kian sulit yang semakin membuat wong cilik menjerit, ditambah lagi dengan segala pembatasan mencari nafkah sebagai akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tengah belum berhentinya laju persebaran COVID-19 merupakan semua prasyarat tersebut, yang terhampar nyata laksana rumput kering di musim kemarau yang panjang.
Tinggal butuh pemantik api dan bensin untuk membuat hamparan rumput itu terbakar habis. Dan itulah peran Anarko Sindikalis dalam kerangka besar teori konspirasi yang banyak beredar di publik, yakni sebagai pemicu prakondisi Darurat Sipil.
Jika banyak terjadi kerusuhan atau gangguan keamanan, atau setidaknya keberadaan Anarko Sindikalis sudah cukup dianggap sebagai gangguan keamanan, tidak mustahil hal tersebut akan memberikan dorongan, atau setidaknya memberikan alasan kuat, bagi pemerintah untuk memberlakukan status Darurat Sipil di Indonesia.
Dasar hukum Darurat Sipil
Kondisi atau Status Darurat Sipil ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya yang dikeluarkan di masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Dalam beleid tersebut diatur bahwa status darurat sipil, darurat militer, atau perang hanya diumumkan oleh presiden atau panglima tertinggi angkatan perang, baik untuk seluruh atau sebagian wilayah Republik Indonesia.
Adapun syarat diberlakukannya status Darurat Sipil ada tiga (3), yakni:
(1) Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan atau akibat bencana alam, yang dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
(2) Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apa pun juga;
(3) Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Dan dalam beleid itu juga ditegaskan pada Pasal 3 bahwa penguasa keadaan darurat sipil adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat.
Inilah yang sejak awal dikhawatirkan, terutama atas klausul syarat ketiga yang multi-tafsir, oleh banyak kalangan, terutama kalangan penggiat Hak Asasi Manusia (HAM), yang menolak keras wacana pemberlakuan Darurat Sipil.
Sebab selain berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM, Darurat Sipil juga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan oleh rezim penguasa, serta yang terutama berdampak gangguan atas roda kehidupan perekonomian dan sosial bangsa, yang tak hanya berdampak dalam jangka pendek juga dalam jangka panjang.
Singkatnya, seperti dalam mitologi Yunani kuno, memilih opsi Darurat Sipil adalah seperti membuka Kotak Pandora. Akan muncul kemudharatan dan kerusakan yang jauh lebih besar yang mungkin dampaknya tak terbayangkan.
Tentu saja kita berharap pemerintahan Jokowi beriktikad baik dan lurus serta berupaya serius dalam mengatasi semua permasalahan bangsa ini sekaligus bertindak arif dan bijaksana, selayaknya menarik sehelai rambut dari tepung. Rambut tak putus dan tepung pun tak terserak.
Semoga saja.
Jakarta, 12 Maret 2020
Baca Juga: PSBB dan Darurat Sipil dan Tegal Lockdown
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H