Pada Selasa, 7 April 2020, Gubernur DKI Jakarta Dr. Anies Rasyid Baswedan resmi mengumumkan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk penanganan wabah COVID-19 di Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta yang efektif berlaku per 10 April 2020.
Sebelumnya Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dengan surat keputusannya per 6 April 2020 telah menyetujui permohonan pengajuan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk pemberlakuan PSBB yang berlaku selama 14 hari ke depan.
Permohonan Jakarta itu sendiri tidak mulus langsung disetujui Istana, karena sehari sebelumnya terlebih dahulu ditolak Kementerian Kesehatan dengan alasan prosedural administratif.
Pernyataan resmi Gubernur Anies Baswedan tentang penerapan PSBB tersebut seakan menjadi akhir drama perdebatan wacana lockdown atau karantina wilayah antara Pemprov DKI dan Pemerintah Pusat selama dua bulan terakhir.
Wacana lockdown atau karantina wilayah berdasarkan UU NO. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang sebelumnya diusulkan Anies tegas ditolak oleh pemerintah pusat.
Pemerintah Pusat dalam penanganan persebaran virus Korona lebih memilih langkah calm down atau slow down, yang dianggapnya relatif tidak terlalu berdampak ekonomis besar, dengan wacana Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang juga merupakan alternatif tindakan kekarantinaan kesehatan selain karantina wilayah yang diatur dalam legislasi yang sama.
Sejatinya PSBB atau formalisasi social distancing itu sudah terlebih dahulu dilaksanakan oleh Pemprov DKI Jakarta jauh sebelum diputuskan oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk pembatasan kegiatan bagi berbagai kalangan masyarakat di DKI Jakarta termasuk untuk bersekolah, bekerja, beribadah di rumah ibadah, dan kegiatan sosial lainnya seperti resepsi pernikahan, pengajian atau acara perkumpulan akbar lainnya.
Pada 30 Maret 2020, sebagaimana dikutip banyak media nasional dan internasional, Presiden Jokowi tegas menyatakan dalam rapat terbatas tentang laporan Gugus Tugas COVID-19 di Istana Negara, "Saya minta kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, physical distancing, dilakukan dengan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi. Tadi sudah saya sampaikan, perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil."
Wacana ikutan Darurat Sipil inilah yang memicu protes keras dari berbagai kalangan, terutama para pegiat dan aktivis Hak Asasi Manusia, yang dalam hal ini diwakili oleh Komite Nasional Hak Asasi Manusia dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Indonesia, yang menganggap rezim Jokowi menunggangi isu COVID-19 untuk memperkuat kekuasaannya.
Status Darurat Sipil berdasarkan legislasi yang ada memang punya berbagai aturan dan kewenangan istimewa bagi pihak penguasa untuk mengendalikan situasi dan keadaan. Antara lain memberikan kewenangan khusus untuk menahan orang-orang yang melanggar aturan Darurat Sipil tanpa proses hukum dan juga memberangus media.
Potensi penyalahgunaan kekuasaan inilah, yang disinyalir bakal dimanfaatkan untuk menangkapi kaum oposan dan lawan politik Jokowi, yang dikhawatirkan banyak kalangan critical mass tersebut.
Kendati sehari setelahnya, per 31 Maret 2020, Juru Bicara Istana yang juga mantan aktivis HAM Fajroel Rachman mencoba mengklarifikasi bahwa makna pernyataan Presiden Jokowi tidaklah seseram apa yang dibayangkan para koleganya tersebut, ditambah dengan berbagai penyataan senada dari kalangan teras Istana, tepat pada 1 April 2020, saat April Mop atau Hari Lelucon Sedunia, pemerintah resmi menetapkan kondisi Darurat Kesehatan Masyarakat yang memang diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Tampaknya ini suatu bentuk akomodasi keinginan publik. Alih-alih pemberlakuan Darurat Sipil yang lebih cocok untuk kondisi kedaruratan akibat perang atau gangguan keamanan, yang jelas-jelas jauh panggang dari api jika diberlakukan untuk masalah kedaruratan kesehatan seperti wabah virus Korona ini.
Namun tak pelak drama tersebut memunculkan pertanyaan besar: Wacana Darurat Sipil itu April Mop atau sekadar cek ombak (testing the water)?
Terlebih lagi, perkembangan selanjutnya mengarah pada keharusan secara administratif bagi tiap daerah atau provinsi untuk mengajukan permohonan penetapan PSBB bagi daerah atau provinsinya masing-masing kepada pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Sejauh ini hanya Pemprov DKI Jakarta, yang memang memiliki kemampuan finansial dan SDM memadai, yang melakukan pengajuan tersebut.
Lantas mengapa bukan pemerintah pusat saja yang langsung menetapkan status PSBB bagi tiap daerah atau provinsi yang dianggapnya sudah dalam kondisi darurat wabah COVID-19? Mengapa harus menempuh langkah prosedural yang terkesan ribet dan berbelit-belit di tengah keharusan berpacu dengan waktu untuk menanggulangi persebaran wabah virus Korona yang agresif dan masif? Demikianlah pertanyaan yang beredar di publik.
Tentu saja, sebagai warga bangsa, kita berharap lagi-lagi itu bukan lelucon atau prank April Mop yang jelas-jelas tidak lucu, bahkan, maaf, di luar akal sehat.
Jika pun segalanya itu, termasuk wacana Darurat Sipil, sekadar menguji kesiapan publik atau cek ombak (testing the water), semoga saja tidak sampai mengorbankan lebih banyak lagi jiwa anak bangsa yang saat ini sudah tembus angka 200-an yang tewas karena COVID-19.
Secara pribadi, saya meyakini pemerintah pusat beriktikad serius menangani problem pandemi virus Korona, sehingga tak mungkin punya waktu berguyon April Mop dengan masalah segawat ini. Alhasil, atas nama husnuzon, kecurigaan itu bolehlah dikesampingkan.
Namun, memang kuat dugaan, terlebih lagi sejak awal Badan Intelijen Nasional (BIN) telah ditugaskan Jokowi untuk turut mengawal dan menangani kasus COVID-19 ini, bahwa wacana Darurat Sipil itu adalah lontaran awal atau cek ombak dari pemerintah pusat guna menjajaki opini atau kesiapan publik jikalau terjadi ketidakstabilan keamanan sebagai buntut dari wabah COVID-19 ini.
Saat ini patut diakui kondisi sosial psikologis masyarakat yang mulai frustrasi dengan pandemi virus Korona. Belum lagi mereka telah banyak menderita kerugian ekonomi antara lain akibat pembatasan sosial (social distancing) atau bahkan karantina lokal (local lockdown) di berbagai daerah.
Diperburuk dengan kondisi ekonomi yang bergejolak yakni kenaikan kurs Dolar AS hingga 16 ribuan Rupiah yang berdampak pada lonjakan harga sembako dan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah yang dianggap lamban dan terlambat bergerak mengatasi pandemi COVID-19 (yang awalnya justru meremehkan), kombinasi semua itu memang rentan terhadap provokasi dan agitasi untuk menggoyahkan stabilitas keamanan dan termasuk stabilitas kekuasaan. Potensi kerawanan inilah yang tampaknya diendus BIN dalam kaitan tugasnya sebagai telik sandi negara.
Hanya waktulah yang kelak akan mengonfirmasikan apakah wacana Darurat Sipil pada akhirnya hanya sebagai wacana belaka atau justru terpaksa diberlakukan yang tak mustahil berujung pada Darurat Militer yang merupakan sinyal merah bagi rezim penguasa di mana pun di seluruh dunia.
Jakarta, 8 April 2020
Baca juga: Tegal Lockdown dan Makdikipe Korona
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H