Status Darurat Sipil berdasarkan legislasi yang ada memang punya berbagai aturan dan kewenangan istimewa bagi pihak penguasa untuk mengendalikan situasi dan keadaan. Antara lain memberikan kewenangan khusus untuk menahan orang-orang yang melanggar aturan Darurat Sipil tanpa proses hukum dan juga memberangus media.
Potensi penyalahgunaan kekuasaan inilah, yang disinyalir bakal dimanfaatkan untuk menangkapi kaum oposan dan lawan politik Jokowi, yang dikhawatirkan banyak kalangan critical mass tersebut.
Kendati sehari setelahnya, per 31 Maret 2020, Juru Bicara Istana yang juga mantan aktivis HAM Fajroel Rachman mencoba mengklarifikasi bahwa makna pernyataan Presiden Jokowi tidaklah seseram apa yang dibayangkan para koleganya tersebut, ditambah dengan berbagai penyataan senada dari kalangan teras Istana, tepat pada 1 April 2020, saat April Mop atau Hari Lelucon Sedunia, pemerintah resmi menetapkan kondisi Darurat Kesehatan Masyarakat yang memang diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Tampaknya ini suatu bentuk akomodasi keinginan publik. Alih-alih pemberlakuan Darurat Sipil yang lebih cocok untuk kondisi kedaruratan akibat perang atau gangguan keamanan, yang jelas-jelas jauh panggang dari api jika diberlakukan untuk masalah kedaruratan kesehatan seperti wabah virus Korona ini.
Namun tak pelak drama tersebut memunculkan pertanyaan besar: Wacana Darurat Sipil itu April Mop atau sekadar cek ombak (testing the water)?
Terlebih lagi, perkembangan selanjutnya mengarah pada keharusan secara administratif bagi tiap daerah atau provinsi untuk mengajukan permohonan penetapan PSBB bagi daerah atau provinsinya masing-masing kepada pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Sejauh ini hanya Pemprov DKI Jakarta, yang memang memiliki kemampuan finansial dan SDM memadai, yang melakukan pengajuan tersebut.
Lantas mengapa bukan pemerintah pusat saja yang langsung menetapkan status PSBB bagi tiap daerah atau provinsi yang dianggapnya sudah dalam kondisi darurat wabah COVID-19? Mengapa harus menempuh langkah prosedural yang terkesan ribet dan berbelit-belit di tengah keharusan berpacu dengan waktu untuk menanggulangi persebaran wabah virus Korona yang agresif dan masif? Demikianlah pertanyaan yang beredar di publik.
Tentu saja, sebagai warga bangsa, kita berharap lagi-lagi itu bukan lelucon atau prank April Mop yang jelas-jelas tidak lucu, bahkan, maaf, di luar akal sehat.
Jika pun segalanya itu, termasuk wacana Darurat Sipil, sekadar menguji kesiapan publik atau cek ombak (testing the water), semoga saja tidak sampai mengorbankan lebih banyak lagi jiwa anak bangsa yang saat ini sudah tembus angka 200-an yang tewas karena COVID-19.
Secara pribadi, saya meyakini pemerintah pusat beriktikad serius menangani problem pandemi virus Korona, sehingga tak mungkin punya waktu berguyon April Mop dengan masalah segawat ini. Alhasil, atas nama husnuzon, kecurigaan itu bolehlah dikesampingkan.
Namun, memang kuat dugaan, terlebih lagi sejak awal Badan Intelijen Nasional (BIN) telah ditugaskan Jokowi untuk turut mengawal dan menangani kasus COVID-19 ini, bahwa wacana Darurat Sipil itu adalah lontaran awal atau cek ombak dari pemerintah pusat guna menjajaki opini atau kesiapan publik jikalau terjadi ketidakstabilan keamanan sebagai buntut dari wabah COVID-19 ini.