Contohnya, bagi orang Timur atau orang Indonesia, mungkin suatu hal yang tidak sopan jika kita terus-menerus menatap mata lawan bicara selama berbicara. Karena khawatir ditafsirkan sebagai suatu sikap yang menantang atau agresif.
Namun, bagi wong londo atau Eropa atau Amerika, misalnya, itu justru pertanda kepercayaan diri. Dan banyak rekan bule yang bercerita kepada saya bahwa mereka menganggap orang Indonesia cenderung pemalu dan rendah diri karena lebih banyak menunduk saat berbicara kepada mereka atau tidak menatap langsung mata mereka.
Nah, kesadaran akan karakter budaya inilah yang perlu ditumbuhkan agar dapat menjadi jembatan antara berbagai perbedaan yang ada guna membina keharmonisan hubungan sosial.
Jika kita kurang memiliki kesadaran budaya atau meremehkannya, alhasil, dapat terjadi konflik atau perselisihan tak perlu karena faktor kesalahpahaman.
Konon kabarnya, dalam salah satu versinya, Perang Trunajaya atau Trunojoyo di Madura antara Pangeran Trunojoyo melawan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Persekutuan Perusahaan Hindia Timur awalnya disebabkan oleh sebuah kesalahpahaman budaya.
Alkisah, VOC sebagai suatu perusahaan multi-nasional raksasa yang berbasis di Belanda saat itu ingin mengadakan kerja sama dagang dengan Madura. Diutuslah seorang perwakilan VOC untuk menemui Pangeran Trunojoyo sebagai salah satu penguasa Madura.
Sebagai bentuk penghormatan bagi tamu, Trunojoyo pun memperkenalkan istri dan anggota keluarganya kepada sang utusan VOC tersebut.
Dan sebagai bentuk penghormatan terhadap tuan rumah, sesuai etiket atau tata krama pergaulan bangsawan Eropa, sang utusan mengecup tangan istri Trunojoyo. Menurutnya, itu suatu hal yang lazim dan patut dilakukan sebagai tanda penghormatan dari seorang tamu yang datang berkunjung.
Tapi hal tersebut justru dipersepsikan berbeda oleh sang tuan rumah, Pangeran Trunojoyo. Dalam adat ketimuran, itu justru tindakan yang dianggap sangat kurang ajar dan melecehkan kehormatan tuan rumah.
Sebagai orang Timur, Trunojoyo tidak rela istrinya disentuh sedemikian rupa oleh lelaki asing. Terlebih dalam budaya Madura yang kental keislamannya, lelaki non-mahram (tidak terikat tali pernikahan atau bukan kerabat) dilarang menyentuh perempuan yang bukan mahramnya.
Singkat cerita, sang utusan VOC kemudian tewas di ujung keris Trunojoyo. Dan VOC yang murka karena merasa dihinakan kemudian mengirim armada perangnya menggempur Madura, dan berkobarlah Perang Trunojoyo pada dasawarsa 1670-an selama sekitar tiga sampai enam tahun. Perang itu pun tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai salah satu bentuk perlawanan rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda.