Juga banyak cerita serupa yang saya dengar atau dicurhatkan kepada saya perihal kelakuan generasi milenial sekarang yang dianggap tuna-tata krama alias lebih cuek dan santai dan seakan mengabaikan unggah-ungguh ketimuran, terutama dalam memanggil atau menyapa seseorang yang lebih tua.
Di sisi lain, terkait kata sapaan tersebut, saya ingat sewaktu saya masih aktif dalam sebuah komunitas kepenulisan yang berbasis mailing list atau milis di Internet.
Dekade awal 2000-an, sebelum era media sosial, adalah era kejayaan milis. Dan banyak komunitas atau organisasi berbasis milis yang sering menyelenggarakan acara off-line (luring) berupa kumpul bareng atau kopi darat (kopdar) selain obrolan online (daring) di milis. Demikian juga komunitas yang saya ikuti tersebut.
Dalam suatu acara kopdar komunitas, saya bertemu salah seorang anggota milis yang tampak terkejut saat bertatap muka dengan saya untuk pertama kalinya. Terlebih lagi saat ia tahu saya lebih muda daripadanya.
"Oalah, kamu masih muda, tho. Aku kira sudah tua. Dari postinganmu kayaknya dewasa banget. Yo wis, aku panggil kamu "Dik" aja ya. Tak apa, kan?" kata si mbak itu.
"Tidak apa-apa, Mbak," ujar saya seraya tersenyum geli. Lha wong, beda usia kami hanya dua tahun saja kok!
Tapi memang bagi beberapa suku atau etnis tertentu di Indonesia, itu merupakan perkara penting bahkan cenderung sensitif.
Mungkin agak berbeda dengan saya yang Betawi asli yang tidak terlalu memusingkan hal tersebut. Kawan main ayah saya (yang kisaran usianya 60 atau 70-an) saja saya panggil Bang atau Mpok alih-alih Babe atau Engkong atau Enyak. Dan mereka juga tak mempermasalahkan perihal sapaan tersebut.
Demikianlah, lain ladang lain ilalangnya.
Yang terpenting adalah kita saling menghargai perbedaan budaya atau tata karma atau unggah-ungguh tersebut sehingga terbina hubungan sehat yang saling hormat-menghormati dengan tetap merayakan perbedaan dengan cara yang sepatutnya.
Sewaktu saya berprofesi sebagai pengajar bahasa Inggris di beberapa lembaga kursus di Jakarta pada awal 2000-an, saya sering menekankan kepada murid-murid saya bahwa dalam berkomunikasi bahasa asing, terutama bahasa Inggris, kemampuan yang perlu dimiliki bukan hanya speaking (berbicara), listening (mendengarkan), writing (menulis), atau reading (membaca) saja, tetapi juga cultural awareness (kesadaran budaya).