Dalam adat pergaulan ketimuran di tengah masyarakat Indonesia, unggah-ungguh atau tata krama itu bukanlah hal sepele.
Misalnya, dalam penyebutan nama seseorang. Saya bisa saja dengan enteng memanggil seorang rekan ekspatriat asal Inggris di kantor saya, Robert William, cukup dengan namanya saja, Robert atau Bob, kendati usianya dua puluh tahun lebih tua daripada saya.
Namun, tidak demikian dengan rekan kantor yang sesama orang Indonesia, meskipun usianya hanya kacek lima tahun daripada saya. Setidaknya ada embel-embel "Mas" atau "Mbak". Bukan kewajiban sebetulnya, sekadar kepatutan budaya saja.
Di salah satu kantor lama saya, ada seorang pesuruh kantor atau Office Boy yang daftar kontak di ponselnya hanya terdiri dari tiga abjad, yakni M, P, dan B. Yakni, Mas atau Mbak, Pak, dan Bu.
"Sudahlah, Min, panggil Salam saja," ujar saya suatu ketika. Mengingat usianya hanya berbeda tiga tahun lebih muda daripada saya.
"Ndak ah, Mas. Ora ilok," jawabnya.
Ya, sudahlah, tak layak juga ditentang tho suatu keyakinan demikian?
Lain lubuk lain ikannya.
Salah satu kolega saya, yang usianya tiga puluhan, pernah curhat kepada saya betapa mangkelnya ia ketika hanya dipanggil namanya saja oleh keponakannya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
"Masa dia panggil gue Rio aja? Om atau Paman kek gitu ya biar lebih sopan!" ceritanya dengan wajah kesal. Selanjutnya ia bercerita bahwa keponakan perempuannya itu bersekolah di salah satu sekolah internasional yang mayoritas muridnya adalah anak-anak ekspatriat, bule atau dari berbagai negara asing, yang bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris. Dan, bagi mereka, hal seperti itu adalah wajar-wajar saja.