Namun, lewat usia tiga puluhan kala itu, selalu saja kisah percintaannya berakhir tragis. Kurang lebih enam kali kegagalan cinta dideritanya.
Waktu itu saya pernah bertanya tentang kriteria wanita pendampingnya.
"Berjilbab, cantik, putih, tinggi, usia lebih muda 4-6 tahun daripada saya, minimal lulusan S-1 PTN, sudah bekerja mapan, pengetahuan agamanya bagus, dan berpengetahuan luas supaya bisa nyambung diskusi," jawabnya.
Well, berat juga, pikir saya. Tapi, menurutnya, karena ia juga berikhtiar lewat jalur ta'aruf atau perjodohan, ada juga kriteria seperti itu, tapi belum ada yang cocok, ujarnya.
"Ada dokter keturunan Arab. Cantik sih, tapi nggak nyambung ngobrol. Kaku."
"Orang Betawi sih. Tau sendiri biaya nikahnya mahal!"
"Wawasannya luas, manis juga orangnya. Tapi lulusan D-3, swasta pula."
"Ada yang sesuai kriteria banget, tapi keluarga besar saya nggak setuju."
Duh, pusing juga ya, saya membatin. Alhasil, jelang pertengahan usia 30-an, barulah Bung Anto ini menemukan jodohnya. Tak sesuai kriterianya memang, karena ia memilih berkompromi dengan realitas, katanya.
Syukurlah, ujar saya saat itu, karena toh yang dicari adalah calon istri, bukan calon karyawan atau direktur!
Nah, problem kedua adalah masalah persiapan. Persiapan yang baik adalah setengah dari keberhasilan. Dan sebagai bagian dari persiapan, niat adalah pondasi terpenting. Alhasil, luruskan niat selurus-lurusnya. Termasuk niat menikah untuk menjaga kesucian diri atau menghindarkan diri dari maksiat perzinaan atau pergaulan seks bebas di luar pernikahan.