Entahlah, apakah saat itu beliau iba kepada saya yang konon pelamar termiskin di antara sekian banyak pelamar yang berminat dengan anak daranya itu.
Ketika saya muncul pertama kalinya di rumah besar dan asrinya beberapa bulan sebelumnya untuk bersilaturahmi, beliau terlihat berusaha menyembunyikan kekagetannya ketika saya mengatakan naik angkutan umum untuk datang ke rumahnya.
Sejak itu pertanyaan "naik apa ke sini?" tak pernah lagi terluncur dari lisannya saat kunjungan-kunjungan saya berikutnya.
Namun pengertian calon mertua saja belum cukup. Saya tetap harus punya modal, kendati alakadarnya. Sementara itu tabungan dan kantong kosong melompong, yang ada hanyalah piutang yang macet di beberapa agensi penerjemahan. Dan sebagai anak yang lahir dari keluarga sangat sederhana, bantuan keluarga besar adalah hal paling terakhir yang dapat diharapkan. Itu pun jika ada.
Syukurlah saat itu saya ingat nasihat calon mertua yang cukup memotivasi: "Percaya saja kepada Tuhan. Kayak tidak punya Tuhan saja!"
Puji syukur bagi Allah yang memudahkan.
Ketika itu datang orderan dengan tenggat dua pekan. Alhasil, dua pekan penuh saya berkutat dengan pekerjaan sejak selepas sholat Subuh sampai Subuh lagi di keesokan harinya. Hingga migren, tamu rutin saya, tiga kali menghajar dalam kurun waktu dua minggu itu.
Duh, begini ya perjuangan orang mau serius nikah, demikian saya membatin.
Ketika waktu terus berlalu, masih saja tumpukan dokumen kontrak bisnis dengan bahasanya yang kaku dan kering laksana kanebo teronggok tinggi di samping komputer kreditan saya. Sungguh suatu perjuangan pahit yang berbuah manis. Cukuplah hasilnya untuk biaya transportasi keluarga besar dan barang seserahan alakadarnya.
Persiapan lamaran sendiri hanya sepekan. Itu pun hanya total tiga hari bersih untuk menyiapkan transportasi, mengundang keluarga besar, dan membeli cincin.
Ya, sebentuk cincin emas seberat 3,3 gram berkadar 23 karat. Sebuah bentuk perjuangan yang tak ternilai harganya.