Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Aneka Rasa Menjadi Penerjemah

18 Maret 2020   07:09 Diperbarui: 18 Maret 2020   17:20 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi penerjemah via pixabay.com

Kenangan awal menjalani karier sebagai penerjemah sungguh tak terlupakan bagi saya.

"Mas, ada kerjaan terjemahan Inggris-Indonesia. Kontrak bisnis. Untuk Selasa, bisa nggak?" tanya salah satu pelanggan saya, salah satu biro penerjemahan di Jakarta, via telepon. Waktu itu hari Jumat di era awal 2000-an.

"Berapa halaman?" tanya saya.

"Banyak nih,  100 halaman. Sanggup tidak? Atau di-split aja?"

Wah, lumayan nih, pikir saya. "Oke, Mas, sanggup. Saya ambil semuanya."

"Oke, nanti kurir saya antar dokumennya ya. Benar ya, Mas, Selasa harus selesai. Jangan sampai telat. Kalau tidak, kami kena penalti dari klien."

Saya mengiyakan. Entahlah, saya lupa saat itu sudah mengucapkan Insya Allah atau tidak. Yang jelas, ini order kakap. Itu saja yang ada di benak saya.

Tak lama kemudian masuk satu orderan lagi. Dokumen berbahasa Inggris untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sekitar 30 halaman dengan spasi rapat, untuk hari Rabu. Juga saya sanggupi.

Dalam hitung-hitungan saya, 30 halaman spasi rapat itu berarti sekitar 90 halaman hasil terjemahan. Jika dikalikan dengan tujuh ribu Rupiah per halaman hasil, tarif honor saya saat itu, cukup lumayan nominal bagi saya sebagai seorang penerjemah lepas.

Harap maklum. Saat itu, sebagai newbie alias penerjemah pemula, tarif honor saya masih jauh dari standar tarif penerjemahan yang ditetapkan oleh Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI). Kompetisi pasar yang ketat antarpenerjemah juga membuat biro-biro penerjemahan leluasa menekan harga.

Eh, lantas ada lagi orderan terjemahan ekspres untuk keesokan harinya, 10 halaman. Ini berarti double price, kisaran honornya Rp14 ribu sampai Rp20 ribu per halaman hasil. Juga saya sanggupi.

Saat itu saya tidak berniat mengoper sebagian orderan itu kepada penerjemah lain. Yang lebih saya pikirkan hanyalah banyaknya uang yang bakal saya dapat sendirian, karena jika dibagi dengan penerjemah lain, otomatis pendapatan saya bakal berkurang. Bayang-bayang penghasilan sekitar Rp 2,5 juta dalam waktu kurang dari sepekan jelas lebih menggiurkan.

Alhasil, keserakahan menyeret saya dalam perjibakuan dengan deadline (tenggat) dalam lima hari, Jumat sampai Selasa, dengan ketiga orderan terjemahan dengan total halaman hasil sekitar 300 halaman. Padahal kemampuan saya saat itu sebenarnya hanya 30 halaman spasi dua dalam sehari.

Ketika tenggat-tenggat itu berjatuhan, dimulailah bencana itu. Dua orderan pertama memang terkejar tuntas pada waktunya, kendati di ujung-ujung injury time. Tapi justru orderan pertama dari pelanggan tetap saya sebanyak 100 halaman tak tertanggulangi. Saya gagal menyelesaikannya tepat waktu. Selisihnya pun jauh, masih separuhnya lagi. Saya berkali-kali meminta maaf kepada sang pemilik biro tersebut yang habis-habisan mendamprat saya.

Sebagai bentuk pertanggungjawaban, akhirnya saya ambil keputusan berani. Saya menggratiskan jumlah halaman yang sudah saya kerjakan. Ini musibah betul buat saya.

Klien yang satu itu termasuk klien yang rajin menyuplai orderan kepada saya, dan hubungan bisnis kami sudah terbina hampir separuh perjalanan karier saya sebagai freelancer atau penerjemah lepas. Saya sudah berpikir ia akan memasukkan saya ke dalam daftar hitam penerjemah. Alamat orderan akan sepi.

Memang setelahnya orderan sepi betul. Bahkan, dalam dua pekan berikutnya, saya hanya dapat orderan 20 halaman. Untungnya saya hobi menulis sehingga dapat mengisi waktu yang lowong dengan menulis. 

Namun, segala sesuatu ada hikmahnya. Dalam waktu sekitar tiga pekan tanpa order terjemahan, saya jadi punya banyak waktu untuk menemani ayah saya yang sudah pensiun untuk ngobrol. Bekerja ala SOHO (Small Office Home Office) tidak serta merta menjamin kita bisa dekat atau punya waktu untuk dekat dengan keluarga atau orang-orang yang kita sayangi.

Selang dua hari kemudian, datang kurir dari biro klien saya tersebut. Ada orderan yang tenggatnya seminggu. Total honor Rp 300 ribu. Lumayanlah, yang penting saya masih mendapat kepercayaan. Itu hal yang mahal dalam bisnis.

Itulah "rasa perjuangan" sebagai penerjemah. Ada "rasa" lain yang unik.

Pernah seorang klien tertawa terbahak-bahak ketika memeriksa hasil terjemahan saya. Entah mengapa, saya juga tak mengerti.

"Mas, ini tidak usah diterjemahkan. Biarkan saja," seraya menunjuk kata software. Kebetulan naskah terjemahan yang saya kerjakan saat itu adalah tentang manual produk komputer.

"Kenapa, Pak? Kan sudah ada bahasa Indonesia bakunya?" tanya saya.

"Tidak kenapa-kenapa sih," balasnya sambil garuk-garuk kepala. "Tapi saya jadi ingat punyanya istri saya!" Ia melirik penuh arti. Lalu kembali tenggelam dalam gelak tawanya.

Astaghfirullah, gumam saya, sedemikian asosiatifnyakah kata itu?

Dalam naskah tersebut, software saya terjemahkan menjadi perangkat lunak.

Akhirnya, karena saya sedapat mungkin menjunjung prinsip indigenasi bahasa (menggunakan padanan bahasa setempat untuk terjemahan bahasa sumber), didapatlah suatu istilah hasil kompromi. Kami sepakat menggunakan istilah piranti lunak. Demi menghindarkan asosiasi negatif, dalih sang klien. Entahlah apakah sedemikian ngeresnya pikiran konsumen produk komputer tersebut.

Demikianlah, memang beraneka rasa menjadi penerjemah, yang membuat saya ketagihan serta terus berkecimpung dan berkembang di dalam dunia itu selama dua dekade ini.

Jakarta, 13 Maret 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun