"Kenapa, Pak? Kan sudah ada bahasa Indonesia bakunya?" tanya saya.
"Tidak kenapa-kenapa sih," balasnya sambil garuk-garuk kepala. "Tapi saya jadi ingat punyanya istri saya!" Ia melirik penuh arti. Lalu kembali tenggelam dalam gelak tawanya.
Astaghfirullah, gumam saya, sedemikian asosiatifnyakah kata itu?
Dalam naskah tersebut, software saya terjemahkan menjadi perangkat lunak.
Akhirnya, karena saya sedapat mungkin menjunjung prinsip indigenasi bahasa (menggunakan padanan bahasa setempat untuk terjemahan bahasa sumber), didapatlah suatu istilah hasil kompromi. Kami sepakat menggunakan istilah piranti lunak. Demi menghindarkan asosiasi negatif, dalih sang klien. Entahlah apakah sedemikian ngeresnya pikiran konsumen produk komputer tersebut.
Demikianlah, memang beraneka rasa menjadi penerjemah, yang membuat saya ketagihan serta terus berkecimpung dan berkembang di dalam dunia itu selama dua dekade ini.
Jakarta, 13 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H