Di awal Maret 2020, saat hujan deras masih mengguyur kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek), terutama Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta yang dipimpin oleh Gubernur Anies Rasyid Baswedan, tekanan politik terhadap sang gubernur yang merupakan cucu pejuang kemerdekaan Abdurrahman Baswedan (tokoh perintis pers Indonesia dan wakil menteri penerangan Kabinet Syahrir) tersebut kian deras menerjang. Terutama terkait problem banjir yang merupakan problem klasik Jakarta sejak ratusan tahun silam sejak masih bernama Batavia atau Jayakarta dan di bawah kendali pemerintah kolonial Belanda.
Sebelumnya Anies Baswedan, sang mantan ketua Dewan Mahasiswa UGM itu, kerap dihadang beragam aksi ekstra-parlementer mulai dari gugatan clash action serta aksi unjuk rasa warga korban banjir yang diinisiasi politikus PDIP Dewi Tanjung (yang juga mempolisikan penyidik KPK Novel Baswedan dengan tuduhan hoaks kasus penyiraman air keras)  sampai siaran pers fetakompli kasus anggaran lem aibon oleh jajaran legislator Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Kini doktor ekonomi dan politik lulusan Amerika Serikat tersebut juga harus menghadapi aksi parlementer yang digalang oleh PDIP yakni pembentukan panitia khusus (pansus) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta pada akhir Februari 2020 yang bertujuan menyelidiki permasalahan banjir awal tahun 2020 di Jakarta yang, diperkirakan dan diduga publik, akan berujung pada desakan pertanggungjawaban Anies Baswedan sebagai gubernur petahana.
Pembentukan Pansus Banjir sendiri telah disetujui DPRD DKI Jakarta berdasarkan rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPRD pada 24 Februari 2020. Dalam surat tersebut, tertulis pembentukan Pansus sesuai dengan ketentuan Pasal 65 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten atau Kota.
Dan setiap fraksi harus menunjuk anggotanya untuk bergabung dalam Pansus Banjir. Termasuk dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merupakan barisan partai oposan Presiden Jokowi dan pengusung Anies Baswedan pada pilkada DKI tahun 2017 yang mengalahkan pasangan petahana Ahok-Djarot yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan beberapa partai lainnya.
Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi dari F-PDIP, sebagai partai penguasa parlemen ibu kota dengan raihan 25 kursi pada pemilu legislatif 2019, mengatakan bahwa Pansus Banjir dibentuk untuk mencari solusi penanganan banjir, meskipun ia juga mengakui bahwa banjir di Jakarta sangat sulit dihilangkan.
"Iya, cari solusi bareng-bareng. Kalau masalah banjir, Jakarta pasti nggak mungkin nggak banjir, pasti ada banjir, tapi kan bisa diminimalis," kata Prasetio yang juga ketua DPRD DKI Jakarta periode 2014-2019 (Detik.com, 3 Maret 2020).
Langkah Pansus pun dimulai dengan melakukan pemanggilan para pihak yang terkait dan yang dianggap relevan, antara lain mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau karib dipanggil Ahok untuk dimintai pendapatnya tentang penanganan banjir Jakarta, dan juga Dinas Sumber Daya Air (SDA) Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang bertanggung jawab atas pengendalian banjir.
Pemprov DKI sendiri tak memusingkan dibentuknya Pansus dan perihal pemanggilan SPKD tersebut.
"Ya, pokoknya selama masih fungsi kontrol, ya, nggak masalah, itu memang tugas mereka. Kita ikut saja kan. Yang penting kita sudah melakukan apa yang sudah jadi tupoksi kita," demikian keterangan Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) Juaini pada Senin, 2 Maret 2020.
Namun, terlepas dari apa pun alasan yang dikemukakan para politikus itu, menyeruak tiga pertanyaan besar yang menyiratkan keheranan publik.
Pertama, mengapa baru sekarang dibentuk Pansus Banjir sementara banjir di Jakarta adalah problem klasik yang terus berulang setiap tahunnya, termasuk semasa Jokowi dan Ahok sebagai gubernur?
Banjir adalah masalah endemik di Jakarta sejak berabad-abad silam. Tak hanya di era Anies Baswedan yang menjabat sejak 2017, tetapi juga di era Jokowi (2012-2014) dan Ahok (2014-2017), dan jauh sebelum Indonesia merdeka atau zaman penjajahan Belanda dan kekuasaan Gubernur Jenderal VOC (Veerenigde Oostindische Compagnie).
Salah satu Gubernur VOC yakni Daendels, bahkan memindahkan pusat kekuasaan VOC dari Kota Tua (sekarang wilayah Pinangsia, Jakarta Barat) ke Weltevreden (sekitar Gambir, Jakarta Pusat) pada tahun 1700-an atau abad ke-18 untuk menghindari masalah banjir.
Dikutip dari Kompas.com, bahkan sejarah problem banjir di Jakarta sudah dimulai sejak zaman Kerajaan Tarumanegara di bawah kekuasaan Raja Purnawarman. Dalam Prasasti Tugu dari abad ke-5 Masehi, disebutkan, saat itu wilayah yang kemudian hari bernama Jakarta itu sudah mengalami banjir. Raja Purnawarman tercatat menginstruksikan pembuatan kanal sepanjang 11 kilometer dari Sungai Candrabagha (Kali Bekasi) sampai Kali Gomati (Kali Cakung) untuk mengatasi banjir.
Itulah upaya Raja Purnawarman di masanya. Pemerintah kolonial Belanda pun melalui para gubernur VOC sudah banyak berbuat termasuk membuat rencana induk (masterplan) penanggulangan banjir  untuk seratus tahun ke depan.
Demikian juga para walikota (sebelum Jakarta ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Khusus Ibu Kota oleh Presiden Soekarno pada 1960-an) dan para gubernur Jakarta di bawah pemerintahan Indonesia pasca-proklamasi kemerdekaan (Orde Lama dan Orde Baru) seperti Ali Sadikin, Wiyogo, Sutiyoso, Foke, Jokowi, Ahok, dan juga Anies Baswedan. Mereka telah berbuat dan berusaha maksimal sesuai kapasitas dan selama periode kepemimpinan mereka masing-masing.
Lantas mengapa, baru pertama kalinya dalam sejarah ibu kota Jakarta sejak era VOC dan sejarah Republik Indonesia, ada panitia khusus (pansus) penyelidikan masalah banjir yang menempatkan pemimpin Jakarta sebagai pihak tertuntut utama atas musibah banjir?
Publik yang berakal sehat pun dibuat keheranan. Bahkan ada lelucon sindiran yang mengutarakan bahwa Pansus Banjir Jakarta semestinya tidak hanya menuntut Gubernur Anies, tetapi juga para mantan gubernur Jakarta sebelumnya seperti Jokowi dan Ahok, dan juga gubernur VOC di era kolonialisme Belanda!
Sarkasme tersebut sejatinya wajar dan layak muncul, terlebih karena ada kekhawatiran warga Jakarta sebagai pemilih suara sah pada pilkada 2017 bahwa keberadaan Pansus Banjir akan meluas menjadi ajang pemakzulan (impeachment) yang bertujuan melengserkan Anies Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta hasil pilihan sah warga Jakarta dengan raihan suara 58 persen pada pilkada 2017.
Jika demikian rencana yang bersemayam di benak para politikus itu, rakyat patut memberikan peringatan keras sejak awal bahwa hal itu sesungguhnya merupakan kudeta konstitusional.
Dalam skala regional, hal ini telah terjadi di Malaysia di mana pemerintahan Koalisi Pakatan Harapan di bawah pimpinan Mahathir Mohammad dan Anwar Ibrahim yang merupakan hasil pemilu yang sah pada 2018 terjungkal karena intrik politik parlementer kalangan oposisi yang berjalin berkelindan dengan pengkhianatan sebagian legislator Pakatan Harapan. Alhasil, kepercayaan dan mandat rakyat terlecehkan dan demokrasi pun ternodai.
Dalam konteks Indonesia, musibah demokrasi yang lebih besar adalah, jika telah ada preseden dan yurisprudensi seperti itu di level lokal, tak mustahil itu akan berulang di level nasional, entah di era Jokowi atau di era setelahnya. Apa pun, bagaimana pun dan kapan pun, itu jelas akan sangat mempercepat pembusukan demokrasi kebangsaan kita.
Kedua, mengapa seluruh fraksi DPRD DKI Jakarta, tanpa kecuali (bahkan termasuk Gerindra dan PKS sebagai partai pengusung serta pendukung Anies), menyetujui pembentukan Pansus Banjir?
Peta politik Indonesia pasca-pilpres 2019 sedikit banyak berubah dengan "Rekonsiliasi MRT" antara Jokowi dan Prabowo Soebianto (yang nota bene ketua umum Partai Gerindra) yang antara lain berbuah manis bagi Gerindra dengan dua portofolio menteri di kabinet Jokowi periode II yang salah satunya adalah posisi Menteri Pertahanan untuk Prabowo sendiri.
Dan aroma politik dagang sapi (horse trading) sebagai bentuk "balas budi" Prabowo menguar kuat ketika pada awal 2020 di tingkat nasional Gerindra tiba-tiba menolak pembentukan panitia khusus (pansus) Jiwasraya oleh DPR -- yang awalnya justru diprakarsainya bersama PKS dan Partai Demokrat -- untuk menyelidiki kerugian BUMN asuransi negara tersebut yang diduga akibat megakorupsi sebesar Rp17 triliun. Dengan sendirinya, wacana Pansus Jiwasraya pun kandas.
Di level lokal, konon ada instruksi internal dari sang jenderal kepada para kader partainya di DPRD DKI untuk lebih bersikap kritis terhadap Gubernur Anies Baswedan, yang dahulu disokongnya pada pilkada 2017.
Terlepas dari faktor balas budi Prabowo kepada Jokowi pasca-pilpres 2019, tampaknya ini juga terkait dengan hasil survei dari lembaga survei Indobarometer yang menempatkan Gubernur DKI Anies Baswedan sebagai tokoh terpopuler kedua sekaligus penantang terkuat Prabowo Soebianto sebagai calon presiden pada pilpres 2024.
Dengan kata lain, jangan piara anak macan yang kelak akan menerkammu kelak. Apalagi Prabowo Soebianto punya pengalaman traumatis emosional dua kali "diterkam" binaannya sendiri, yakni Jokowi (yang dulu diusungnya sebagai calon gubernur DKI pada pilkada 2012) pada pilpres 2014 dan 2019.
Ditambah lagi, faktor kekosongan jabatan wakil gubernur DKI Jakarta selama setahun lebih yang ditinggalkan Sandiaga Uno (kader Gerindra) -- yang mendampingi Prabowo sebagai cawapres pada pilpres 2019 -- mendorong Gerindra dan PKS berlaku lebih pragmatis demi menggaet dukungan partai-partai lain di DPRD DKI Jakarta.
Alotnya negosiasi politik antara kedua partai pengusung Anies tersebut untuk menetapkan wagub pendamping Anies sejauh ini baru menghasilkan dua nama kandidat cawagub, yakni Ahmad Riza Patria (anggota DPR dari Gerindra) dan Nurmansyah Lubis (mantan anggota DPRD DKI dari PKS) yang penentuan finalnya berada di tangan para legislator Kebon Sirih tersebut.
Alhasil, diduga kuat keikutsertaan Gerindra dan PKS dalam Pansus Banjir adalah bagian dari proses tawar menawar politik untuk meraih dukungan bagi kandidat masing-masing, dan, di sisi lain, untuk menekan Anies agar lebih kompromistis, termasuk dengan siapa pun wagub yang akan terpilih nanti.
Terlebih lagi kekuatan oposisi Anies di DPRD DKI Jakarta yakni gerbong Koalisi Indonesia Kerja (pendukung Jokowi) yakni PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, dan PSI cukup dominan untuk menenggelamkan Gerindra dan PKS yang masing-masing hanya meraih 19 dan 16 kursi parlemen.
Bagaimana pun politik adalah seni kemungkinan (art of politics), apa pun bisa terjadi. Termasuk berpisah dengan kawan seiring dan menggandeng lawan tarung semata-mata demi suatu tujuan tertentu.
Toh, ada adagium politik yang bilang bahwa tidak ada sekutu atau seteru abadi dalam politik, yang ada adalah kepentingan yang abadi.
Ketiga, mengapa Pansus memanggil Ahok yang nota bene mantan gubernur DKI Jakarta periode sebelumnya yang juga dapat dikatakan tidak berhasil menanggulangi banjir di era kepemimpinannya?
Dalam hal ini, jelas Pansus yang dimotori PDIP "masih terjebak cinta lama" alias belum move on, meminjam istilah anak milenial.
Cinta Lama Belum Kelar (CLBK) ini terkait erat dengan dukungan penuh PDIP dan partai koalisinya pada pilkada DKI 2017 untuk pasangan Ahok-Djarot yang pada akhirnya tumbang dengan raihan 42 persen suara. Ditambah dengan kedekatan personal Jokowi dengan Ahok yang pernah mendampinginya sebagai wagub DKI pada pilkada 2012 mengalahkan gubernur petahana Fauzi Bowo atau Foke.
Buktinya, selepas menjalani hukuman terungku karena kasus penistaan agama atau populer disebut "Kasus Al Maidah 61", Ahok, anak saudagar Kristen Tionghoa asal Bangka, ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT Pertamina, salah satu BUMN migas terpenting di negeri ini.
Dan belumlah seumur jagung masa jabatan Ahok (yang sekarang lebih suka dipanggil BTP) sebagai Preskom atau Komut Pertamina, Presiden Jokowi kembali memasukkan nama sohib kentalnya itu dalam daftar kandidat CEO Badan Otoritas Ibu Kota Negara (IKN) yang akan mengurus ibu kota baru RI di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Kemudian, jika berbicara fakta realita penanggulangan banjir Jakarta di era kepemimpinan Ahok, sebetulnya rekam jejaknya relatif biasa-biasa saja, sebagaimana rekam jejak para gubernur Jakarta sebelumnya.
Jika ada hiperbolisasi dari para partai pendukung atau barisan relawannya bahwa Jokowi dan Ahok berhasil mengatasi banjir Jakarta, mestinya, secara logika, Â saat ini Jakarta sudah tidak lagi kebanjiran karena sudah ada sistem penanggulangan banjir yang efektif dan efisien yang diklaim sebagai hasil kerja Jokowi dan Ahok.
Tapi, nyatanya, toh, Jakarta masih kebanjiran juga.
Dan, logiskah jika semua beban kesalahan tersebut dilemparkan ke pundak seorang Anies Baswedan yang belumlah tuntas menjabat satu periode kegubernuran?
Mari kita bicara data.
Berdasarkan data gabungan antara Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, Bappenas, BMKG, dan Open Data Jakarta yang digelar di Kantor Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) yang membeberkan penanganan banjir di Jakarta per periode mulai 2013, 2015 (era kepemimpinan Jokowi dan Ahok), dan 2020 (era kepemimpinan Anies Baswedan), didapati bahwa banjir di awal tahun 2020 memiliki curah hujan yang lebih tinggi per harinya ketimbang 2013 dan 2015, yakni 377 milimeter (mm) berbanding 100 mm dan 277 mm.
Meski pun terbilang lebih besar, namun area terdampak banjir pada 2020 hanya seluas 156 km. Berbeda dengan 2013 dan 2015. Dengan curah hujan per hari yang lebih kecil dibanding 2020, namun luas wilayah terdampak mencapai 240 km pada 2013 dan 281 km pada 2015.
Diduga karena tindakan penanganan yang lebih baik dari Pemprov DKI maka kawasan pusat kota yang strategis seperti Bundaran Hotel Indonesia hingga Jalan Muhammad Husni Thamrin -- yang dahulu tergenang hebat semasa kegubernuran Jokowi dan Ahok -- tidak terdampak.
Selain penanganan wilayah terdampak, data juga mencatat total jumlah posko pengungsian dan pengungsinya. Untuk tahun 2020, total posko pengungsian mencapai 269 posko dengan total pengungsi sebanyak 31.232 jiwa.
Bila dibandingkan dua tahun sebelumnya, pada tahun 2013 tercatat sebanyak 1.250 posko dan tahun 2015 sebanyak 409 posko. Demikian juga dengan total pengungsinya pada tahun 2013 tercatat 90.913 jiwa dan pada tahun 2015 sebanyak 45.813 jiwa.
Lantas, dengan deretan fakta riil termasuk ketiga pertanyaan besar di atas, tentu rakyat sah-sah saja jika mempertanyakan apakah pansus yang dibentuk adalah Pansus yang serius untuk benar-benar menyelidiki masalah banjir Jakarta atau hanya untuk mengalihkan isu nasional penggangsiran uang rakyat di jajaran BUMN besar sekaliber Jiwasraya, atau sekadar pansos alias panjat sosial (istilah gaul anak milenial) untuk menaikkan posisi tawar politik (political bargaining position)?
Biarlah publik yang menilai, waktu yang membuktikan, dan Tuhan yang membalas pengkhianatan para politikus itu, sekiranya mereka cedera janji atau mengkhianati suara dan amanat rakyat.
Gusti Allah ora sare. Tuhan itu tidak tidur.
Â
Jakarta, 6 Maret 2020
Referensi
- https://news.detik.com/berita/d-4924354/pansus-dprd-akan-minta-saran-ahok-gegara-jakarta-terus-kebanjiran
- https://www.kompas.com/tren/read/2020/01/03/063100465/mengatasi-banjir-jakarta-dari-raja-purnawarman-jokowi-ahok-hingga-anies?page=all
- https://www.merdeka.com/jakarta/membandingkan-data-banjir-jakarta-pada-2013-2015-dan-2020.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H