Dalam skala regional, hal ini telah terjadi di Malaysia di mana pemerintahan Koalisi Pakatan Harapan di bawah pimpinan Mahathir Mohammad dan Anwar Ibrahim yang merupakan hasil pemilu yang sah pada 2018 terjungkal karena intrik politik parlementer kalangan oposisi yang berjalin berkelindan dengan pengkhianatan sebagian legislator Pakatan Harapan. Alhasil, kepercayaan dan mandat rakyat terlecehkan dan demokrasi pun ternodai.
Dalam konteks Indonesia, musibah demokrasi yang lebih besar adalah, jika telah ada preseden dan yurisprudensi seperti itu di level lokal, tak mustahil itu akan berulang di level nasional, entah di era Jokowi atau di era setelahnya. Apa pun, bagaimana pun dan kapan pun, itu jelas akan sangat mempercepat pembusukan demokrasi kebangsaan kita.
Kedua, mengapa seluruh fraksi DPRD DKI Jakarta, tanpa kecuali (bahkan termasuk Gerindra dan PKS sebagai partai pengusung serta pendukung Anies), menyetujui pembentukan Pansus Banjir?
Peta politik Indonesia pasca-pilpres 2019 sedikit banyak berubah dengan "Rekonsiliasi MRT" antara Jokowi dan Prabowo Soebianto (yang nota bene ketua umum Partai Gerindra) yang antara lain berbuah manis bagi Gerindra dengan dua portofolio menteri di kabinet Jokowi periode II yang salah satunya adalah posisi Menteri Pertahanan untuk Prabowo sendiri.
Dan aroma politik dagang sapi (horse trading) sebagai bentuk "balas budi" Prabowo menguar kuat ketika pada awal 2020 di tingkat nasional Gerindra tiba-tiba menolak pembentukan panitia khusus (pansus) Jiwasraya oleh DPR -- yang awalnya justru diprakarsainya bersama PKS dan Partai Demokrat -- untuk menyelidiki kerugian BUMN asuransi negara tersebut yang diduga akibat megakorupsi sebesar Rp17 triliun. Dengan sendirinya, wacana Pansus Jiwasraya pun kandas.
Di level lokal, konon ada instruksi internal dari sang jenderal kepada para kader partainya di DPRD DKI untuk lebih bersikap kritis terhadap Gubernur Anies Baswedan, yang dahulu disokongnya pada pilkada 2017.
Terlepas dari faktor balas budi Prabowo kepada Jokowi pasca-pilpres 2019, tampaknya ini juga terkait dengan hasil survei dari lembaga survei Indobarometer yang menempatkan Gubernur DKI Anies Baswedan sebagai tokoh terpopuler kedua sekaligus penantang terkuat Prabowo Soebianto sebagai calon presiden pada pilpres 2024.
Dengan kata lain, jangan piara anak macan yang kelak akan menerkammu kelak. Apalagi Prabowo Soebianto punya pengalaman traumatis emosional dua kali "diterkam" binaannya sendiri, yakni Jokowi (yang dulu diusungnya sebagai calon gubernur DKI pada pilkada 2012) pada pilpres 2014 dan 2019.
Ditambah lagi, faktor kekosongan jabatan wakil gubernur DKI Jakarta selama setahun lebih yang ditinggalkan Sandiaga Uno (kader Gerindra) -- yang mendampingi Prabowo sebagai cawapres pada pilpres 2019 -- mendorong Gerindra dan PKS berlaku lebih pragmatis demi menggaet dukungan partai-partai lain di DPRD DKI Jakarta.
Alotnya negosiasi politik antara kedua partai pengusung Anies tersebut untuk menetapkan wagub pendamping Anies sejauh ini baru menghasilkan dua nama kandidat cawagub, yakni Ahmad Riza Patria (anggota DPR dari Gerindra) dan Nurmansyah Lubis (mantan anggota DPRD DKI dari PKS) yang penentuan finalnya berada di tangan para legislator Kebon Sirih tersebut.
Alhasil, diduga kuat keikutsertaan Gerindra dan PKS dalam Pansus Banjir adalah bagian dari proses tawar menawar politik untuk meraih dukungan bagi kandidat masing-masing, dan, di sisi lain, untuk menekan Anies agar lebih kompromistis, termasuk dengan siapa pun wagub yang akan terpilih nanti.