Kutipan kalimat Shakespeare itu adalah sebagai berikut: "What is in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet"
Terjemahan: "Apalah arti sebuah nama? Andaikata kita memberi nama lain untuk mawar, aroma mawar akan tetap harum"
Sekian abad lalu boleh saja Shakespeare berpendapat demikian. Namun, di era kekinian, tampaknya pernyataannya itu sudah tak relevan. Terutama di bidang perdagangan dan pemasaran.
Jika suatu nama tak punya arti, tentu sekian tahun lalu pada 2012-an takkan ada konflik perebutan paten tentang nama "kopitiam" di antara para pengusaha kedai kopi Tionghoa, misalnya.
Kopitiam atau kopi tiam (dari bahasa Tionghoa dialek Hokkian) yang semakna dengan warkop atau warung kopi atau kedai kopi tentu punya nuansa yang berbeda dengan warkop atau kafe atau coffee shop. Beda segmen tentu beda nama, dan tentu beda harga serta prestise.
Alhasil, segelas kopi tubruk hitam di warkop barangkali hanya seharga empat atau lima ribu rupiah.
Oh ya, bagi yang bukan pencinta kopi atau yang belum tahu, kopi tubruk itu tidaklah dibuat dengan cara ditubruk gelasnya sampai tumpah. Itu juga pemahaman saya dulu semasa bocah.
Tapi kopi tubruk itu adalah "minuman kopi yang dibuat dengan cara memasukkan bubuk kopi dan gula ke dalam gelas lalu dituangi air panas" (versi Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI). Jadi, campuran bubuk kopi dan gula itu yang ditubrukkan dengan air panas sehingga terciptalah sajian kopi nikmat.
Nah, jika si kopi tubruk ini sudah berganti nama jadi Black Coffee di sebuah kafe atau kopitiam, harganya pun berlipat tiga sampai lima kali lipat.
Demikian juga jika "susu kocok" sudah diberi nama "milkshake", tentu beda lagi harganya.
Apalagi ada kecenderungan di Indonesia untuk menamai produk atau tempat dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, untuk meningkatkan gengsi atau prestise yang berimbas pada harga jual yang lebih mahal alias lebih cuan (untung) ketimbang jika dinamai dengan bahasa Indonesia. Demikian anggapan atau persepsi publik yang berkembang belakangan ini.