Penulis adalah Mahasiswa PhD Bidang Hukum Konstitusi dan Kebijakan Pemerintahan, GUU Moskow Rusia
Wabah Pandemi Covid-19 selain menjadi angin segar bagi para narapidana di Indonesia, juga menjadi ajang kebingungan para pemangku kebijakan di negeri pertiwi ini. Bagaimana tidak, di satu sisi Menteri Hukum dan HAM membebaskan ribuan narapidana dari penjara, sedang aparat kepolisian berupaya menangkap pelanggar PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan tentunya mempidanakan serta memasukkan pelanggar ke dalam sel penjara.Â
Kehebohan kebijakan Kemenkumham terdengar nyaring di beberapa media berita. Melalui program asimilasi dan integrasi dari KemenkumHAM terkait upaya pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19 di lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, dan lembaga pembinaan khusus anak (LPKA), maka ribuan narapidana, khususnya anak mendapatkan pembebasan. Kebijakan ini diambil melalui Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui asimilasi dan integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19. Selain itu, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang syarat pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19.
Adapun ketentuan dalam Kepmen ini dijelaskan bahwa hanya bagi narapidana dan anak yang dapat dibebaskan setelah melalui asimilasi, yaitu narapidana yang dua pertiga masa pidananya jatuh sampai dengan 31 Desember 2020, dan narapidana yang setengah masa pidananya jatuh sampai dengan 31 Desember 2020.
Kebijakan ini diambil memang bukan tanpa pertimbangan yang matang, karena sebelumnya banyak diberitakan di media sosial terkait kondisi sel tahanan yang penuh sesak, sempit, dan sangat tidak layak. Dalam satu sel diisi puluhan orang dan posisinya berimpitan antara satu dengan yang lainnya. Pada saat mewabahnya pandemi Covid-19, hal ini menjadi momok menakutkan bagi para napi, karena peluang menular antar sesama napi menjadi sangat mudah dan lebih liar. Jika sebelumnya kondisi para tahanan tidak terlalu begitu dilirik dan penjara dianggap sebagai tempat yang cukup pantas bagi mereka yang bersalah agar mendapatkan efek jera, namun saat sekarang hal tersebut menjadi persoalan karena kondisi yang berdesakan tersebut tentu saja akan sangat memudahkan bagi para napi menjadi sasaran virus mematikan, apalagi banyak diantara mereka yang sudah berusia diatas 60 tahun dan sudah menjalani masa hukuman lebih dari 2/3 masa tahanan.
Poin ini jugalah yang menjadikan salah satu pertimbangan dan usulan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Yasona Laoly terkait pembebasan napi yang berdesakan demi mengurangi resiko penularan Coronavirus Covid-19 ini. Namun sayangnya, isu dalam pembebasan ini ternyata disusupi oleh adanya beberapa napi koruptor yang turut serta didalamnya. Memang sangat disayangkan, jika jumlah kapasatitas napi yang akan dibebaskan harus dikurangi dan dibagi dengan para napi koruptor, padahal di pemberitaan media dan di televisi pun sudah sering disiarkan bagaimana spesialnya sel tahanan para koruptor. Oleh karenanya, tidak pantas rasanya jika mereka pun mendapat hak untuk diberi kebebasan, karena secara tidak langsung kondisi sel dengan hanya satu orang satu kamar saja sudah dapat menjadikan mereka mengisolasi diri sendiri tanpa harus mengkhawatirkan untuk menularkan kepada pihak lain. Jika saja sebelumnya para napi lainnya memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam mendapatkan fasilitas dan keamanan selama tinggal di penjara, maka tentunya hal ini tidak akan menjadi bahan kritik dan kecurigaan masyarakat terhadap para pemimpin negeri ini.
Uniknya, tenyata aturan hukum ini bertolak balik dengan aturan hukum lain dalam ranah pencegahan penyebaran pandemi Covid-19 ini. Di satu sisi berupaya menghambat penyebaran dengan mengeluarkan para Napi yang masih berada di dalam penjara, namun di sisi lain malah ada aturan yang mengancam akan memasukkan ke dalam sel penjara bagi pelanggar aturan terkait pencegahan wabah ini.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, khususnya pasal 93 memang sudah mengatur tentang aturan bagi pelanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB), selain Pasal 218 KUHP. Hal ini kemudian ditindaklanjuti pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Â Karenanya, saat Peraturan Pemerintah telah resmi dikeluarkan, maka pihak kepolisian sebagaimana amanat Presiden secara tegas melakukan tindakan upaya penegakan hukum bagi pelanggarnya. Artinya, pencegahan wabah pandemi Covid-19 ini harus dilakukan dengan memberikan sanksi pidana bagi warga masyarakat yang melakukan pelanggaran. Â
Melalui Maklumat Kapolri No. Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona, kemudian pihak kepolisian melakukan tindakan mengamankan masyarakat yang tidak mengindahkan himbauan PSBB tersebut, walaupun kemudian sebagian besar dilepaskan kembali. Namun, tentunya bila ketegasan ini ditegakkan akan banyak warga masyarakat yang melanggar menjadi tahanan, yang kemudian secara hukum harus diadili dan dipenjarakan.
Ketentuan pasal 93 Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan telah jelas memberikan ancaman sanksi pidana paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), sedang pada Pasal 218 KUHP dinyatakan adanya ancaman pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah bagi siapa saja pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang.
Kedua gambaran kebijakan hukum diatas sebenarnya lumrah terjadi pada suatu Negara Hukum. Kebijakan yang diambil lebih didasarkan pada Legal Policy yang bertujuan untuk kemaslahatan warga masyarakat. Upaya menyelamatkan warga masyarakat dari wabah pandemi Covid-19 dengan memberikan kebebasan napi yang sudah diambang waktu bebas, dan memberikan sanksi dengan mengurung mereka yang membandel untuk tidak melakukan kerumunan adalah hal yang wajar, walaupun terkesan membingungkan. Bahkan keduanya dalam teori Politik Hukum sebagaimana pendapat Sudarto (1981) merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada saat tertentu. Kebijakan pemberian sanksi bagi pelanggar ketentuan hukum yang sebelumnya tidak dilarang, kemudian dilarang juga merupakan suatu politik hukum pidana atau disebut Penal Policy. Penal policy sebagaimana pendapat Barda Nawawi Arief (2006) dapat disebut juga kebijakan kriminalisasi. Ia merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) sehingga termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy).