Seorang anak sedang duduk. Diam. Terpaku menatap ayahnya di sofa seberang. Sinar mentari pagi menyelinap masuk melalui celah ventilasi. Berkas-berkas cahaya jingga menerangi wajah pria di hadapannya. Setumpuk luka gores menyala terang, menampilkan jeri tak terbilang.
"Yah," ujar lembut si anak. Matanya menatap tajam. Pandangannya menusuk ke arah depan. Kedua tangan terkepal menopang posisi duduknya yang condong penasaran.
"Ayah percaya malaikat itu ada?"
Sebuah kalimat tanya meluncur dari mulutnya. Menembus ruang di antara mereka, menikam target. Gerakan tangan si ayah terhenti. Belati perak di tangannya mulai bergetar.
"Percaya."
Ia melepas belati dari tangannya, berkelontangan di meja kaca. Kali ini ia bahkan menatap anaknya, yang tak pernah ia lakukan semenjak kehilangan mendiang istri.
"Ayah pernah melihatnya," pria itu mendesis pelan.
Ekspresi si anak berubah datar. Matanya menyipit.
"Omong kosong." Anak itu merebahkan badannya ke sandaran. Seringai lebar terulas di bibirnya, mencemooh.
Ia pikir ayahnya sudah tak waras. Sebab sudah terlalu lama berendam di lautan darah.
Tidak. Tidak mungkin seorang pembunuh bisa melihatnya. Mereka itu makhluk suci, batin si anak dalam hati.
Pria itu lantas memungut belatinya, berdiri tegap. Kuku-kuku jarinya memutih sebab menggenggam erat bilah perak itu. Dadanya naik turun. Suara napas berat bergaung dalam ruangan. Hanya sebentar. Lantas mereda.
Pria itu menyeka peluh di pelipisnya, segera melangkah pergi. Namun, sebelum menghilang dari pandangan anaknya, ia berujar pelan. "Kalau kau tak percaya. Pandangi saja panti asuhan di seberang jalan esok subuh. Kau akan melihatnya."
Cih. Dia membual lagi. Gigi anak itu gemertakan karena geram. Ucapan ayahnya membuat dadanya sesak karena luapan emosi.
Pagi itu berlalu dengan cepat. Matahari terus merangkak dari ufuk timur ke barat, menyeberangi cakrawala. Tak terasa hari telah berganti malam. Derik suara jangkrik sesekali hinggap di telinga. Bulan purnama mengorbit tepat di atas jendela kamarnya. Sinar kuning keemasan menjamah dinding pualam yang putih bersih.
Malam itu ia sulit tidur. Bukan karena insomnia. Bukan pula sebab takut mimpi buruk. Anak itu hanya tak sanggup menatap kegelapan yang menyelimutinya saat memejamkan mata. Sepi dan gelap. Ia tak berani menghadapinya.
Indah, gumamnya pelan.
Senyumnya merekah ketika sinar rembulan mengelus lembut kedua pipinya. Kepalanya rebah di birai jendela. Angin malam berembus pelan. Rambut hitamnya tersibak, melambai-lambai. Perlahan kedua matanya terpejam. Tanpa sadar ia menghadapi ketakutannya. Hingga syair merdu mengalun menunggu fajar, membuatnya terjaga.
Ia meregangkan badan seraya melirik jam. Pukul lima. Kumandang lembut dari surau-surau mulai bersahutan. Anak itu teringat perkataan ayahnya tentang malaikat. Ia menoleh enggan ke rumah panti seberang jalan. Malaikat, heh? Ia beranjak dari jendela. Dusta! rutuknya dalam hati.
Tepat di saat-saat terakhir, sudut matanya menangkap sebuah gerakan. Langkahnya terhenti. Seorang gadis melintasi gang sepi. Sweter dan rok putihnya begitu kontras dengan latar pagi buta yang kelam. Jepit rambut beruang tersemat di sebelah kiri  poni rambutnya. Gadis itu menenteng keranjang penuh dengan roti. Ia berjalan melintasi halaman panti.
Indah, gumam anak itu pelan. Ucapan takjub yang hanya ia tuturkan sebulan sekali, pagi ini kembali terucap. Namun, bukan untuk sang purnama.
Beberapa menit selang, si gadis keluar dari ambang pintu bersama anak-anak penghuni panti. Mereka menyusuri jalanan sunyi dengan penerangan seadanya. Pakaian serta dandanan unik melekat menghiasi penampilan mereka. Namun, pandangan si anak laki-laki tetap tak teralihkan. Hanya gadis itu.
Jantungnya berdegup kencang, memompa darah kaya dopamin hingga ujung jari. Anak itu tak lagi berpikir jernih. Ia melompat dari jendela kamarnya di lantai dua. Kemudian, membuntuti gadisnya hingga alun-alun kota.
"Loh, Sal. Badanmu panas banget." Seruan lirih penuh kekhawatiran membumbung tinggi di tengah-tengah kota. "Kamu sakit?"
Seorang anak dengan gaun bersih dan mahkota plastik tampak lemas, bahkan tak mampu berdiri tegap dengan kakinya. "Agak pusing dikit, Kak!"
Rasa cemas dengan cepat menyebar, menyelimuti rombongan. "Yaudah, kamu istirahat aja. Biar kakak yang gantikan," ujar gadis itu lembut.
"Trus yang jadi pangerannya siapa, Kak?" sahut anak yang lain.
"Iya, Kak. Yang jadi pangeran siapa?"
Anak-anak itu mulai gelisah, bertanya satu sama lain, membuat keributan kecil menjelang pagi. Gadis itu pun bingung. Keterlibatannya dalam sandiwara perlu lawan main yang sebaya.
"Bolehkah.. "
Suara serak seorang remaja lelaki menyadarkannya dari lamunan kosong.
"Bolehkah aku ikut serta?"
Anak itu mengambil sehelai kain merah yang tercecer di lantai, mengaitkannya di leher. Jadilah ia seorang pangeran berjubah merah dengan piama bermotif mahkota, siap menjemput sang putri.
Gadis itu terpaku cukup lama, lantas tersipu malu. Anggukan darinya menjadi isyarat yang membuat anak-anak panti bersorak riang. "Hore! Hore!"
Pagi itu jadi awal pertemuan keduanya. Momen kebersamaan sang putri dan pangeran disaksikan ribuan pasang mata. Embun pagi yang dingin menguap sebab kehangatan hati yang saling bersinggungan. Tanpa sadar benang merah mulai terjalin, merekatkan keduanya dalam satu kata ajaib. Cinta.
Minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Waktu berjalan begitu cepat. Tujuh tahun berlalu begitu saja. Gadis itu tumbuh menjadi seorang dokter bertangan dingin. Ratusan nyawa tertolong berkat kepiawaiannya. Lain hal dengan si gadis. Anak laki-laki itu tumbuh menjadi seorang pembunuh bayaran. Hatinya dingin, persis mirip ayahnya. Ribuan nyawa terenggut oleh tangannya.
Namun, tak ada yang berubah dari pentas itu. Latar belakang mereka yang saling bertolak tak jadi penghalang. Setiap minggu pagi, ratusan pasang tangan bertemu di udara, bersorakan. Udara dingin pagi hari digantikan hangatnya tatapan kagum. Â Kisah mereka di atas pentas bertransformasi menjadi legenda. Hingga suatu minggu pagi, gadis itu tak muncul lagi di alun-alun kota.
Pagi itu sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Udara dingin menusuk tulang. Cahaya samar rembulan perlahan redup. Kicauan burung-burung yang mulai meninggalkan sarang. Pemuda itu sudah menunggu selama sepuluh menit, menatap pentas yang kosong melompong. Para penonton mulai berdatangan. Tak sekali pun anak-anak panti dan gadis itu datang terlambat. Langkah seribu tak terasa baginya sebab cemas. Ia bergegas menuju panti.
Sesampainya di sana, berita duka menghampiri si pemuda. Kabar kematian si gadis mengalun sedih melalui mulut sang pengasuh panti. Gadis itu meregang nyawa saat menjadi tim medis di daerah konflik. Pemuda itu termenung. Kilau di matanya sudah menghilang pergi. Perasaannya campur aduk. Bahkan kakinya yang kekar mulai gemetar, tak sanggup menahan bobot tubuh. Ia jatuh berlutut.
Apa yang harus kulakukan? batin si pemuda dalam hati.
Tangannya memainkan belati perak pemberian ayahnya. Semilir angin berembus masuk melalui jendela. Pandangan pemuda itu membayang jauh ke balik-balik awan putih.
Aku akan menyusulmu!
Di saat tekad pemuda itu sudah bulat. Belati yang menempel di lehernya tak mau bergerak. Ia tercekat. Bayangan seram yang bahkan lebih ia takutkan dari kematian melintas, menakuti pikirannya.
Bagaimana jika kami tak berada di tempat yang sama?
Tangan pemuda itu bergetar. Belati itu jatuh bersama keberaniannya. Air mata membasahi kedua netranya yang sudah tak punya cahaya. Ia kemudian tertawa, lalu menangis. Kemudian tertawa lagi.
Tidak. Tidak mungkin. Pemuda itu terkekeh. Sejak awal memang mustahil.
Tubuhnya berguncang sebab tergelak sekaligus sesenggukan. Ia mulai kehilangan kewarasan. Pikirannya rusak. Ekspresi wajahnya tak terkendali. Kemudian, dalam satu tarikan napas ia berteriak sangat kencang, mengoyak irama hening dalam kamar tidurnya. Cairan merah darah keluar dari telinganya. Ia tak lagi bisa mendengar.
Ya. Seorang iblis takkan pernah bertemu malaikat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H