Jantungnya berdegup kencang, memompa darah kaya dopamin hingga ujung jari. Anak itu tak lagi berpikir jernih. Ia melompat dari jendela kamarnya di lantai dua. Kemudian, membuntuti gadisnya hingga alun-alun kota.
"Loh, Sal. Badanmu panas banget." Seruan lirih penuh kekhawatiran membumbung tinggi di tengah-tengah kota. "Kamu sakit?"
Seorang anak dengan gaun bersih dan mahkota plastik tampak lemas, bahkan tak mampu berdiri tegap dengan kakinya. "Agak pusing dikit, Kak!"
Rasa cemas dengan cepat menyebar, menyelimuti rombongan. "Yaudah, kamu istirahat aja. Biar kakak yang gantikan," ujar gadis itu lembut.
"Trus yang jadi pangerannya siapa, Kak?" sahut anak yang lain.
"Iya, Kak. Yang jadi pangeran siapa?"
Anak-anak itu mulai gelisah, bertanya satu sama lain, membuat keributan kecil menjelang pagi. Gadis itu pun bingung. Keterlibatannya dalam sandiwara perlu lawan main yang sebaya.
"Bolehkah.. "
Suara serak seorang remaja lelaki menyadarkannya dari lamunan kosong.
"Bolehkah aku ikut serta?"
Anak itu mengambil sehelai kain merah yang tercecer di lantai, mengaitkannya di leher. Jadilah ia seorang pangeran berjubah merah dengan piama bermotif mahkota, siap menjemput sang putri.