Mohon tunggu...
HORUS LIN K.
HORUS LIN K. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ayo, Nulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malaikat Minggu Pagi

2 Januari 2023   13:49 Diperbarui: 2 Januari 2023   13:56 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pria itu lantas memungut belatinya, berdiri tegap. Kuku-kuku jarinya memutih sebab menggenggam erat bilah perak itu. Dadanya naik turun. Suara napas berat bergaung dalam ruangan. Hanya sebentar. Lantas mereda.

Pria itu menyeka peluh di pelipisnya, segera melangkah pergi. Namun, sebelum menghilang dari pandangan anaknya, ia berujar pelan. "Kalau kau tak percaya. Pandangi saja panti asuhan di seberang jalan esok subuh. Kau akan melihatnya."

Cih. Dia membual lagi. Gigi anak itu gemertakan karena geram. Ucapan ayahnya membuat dadanya sesak karena luapan emosi.

Pagi itu berlalu dengan cepat. Matahari terus merangkak dari ufuk timur ke barat, menyeberangi cakrawala. Tak terasa hari telah berganti malam. Derik suara jangkrik sesekali hinggap di telinga. Bulan purnama mengorbit tepat di atas jendela kamarnya. Sinar kuning keemasan menjamah dinding pualam yang putih bersih.

Malam itu ia sulit tidur. Bukan karena insomnia. Bukan pula sebab takut mimpi buruk. Anak itu hanya tak sanggup menatap kegelapan yang menyelimutinya saat memejamkan mata. Sepi dan gelap. Ia tak berani menghadapinya.

Indah, gumamnya pelan.

Senyumnya merekah ketika sinar rembulan mengelus lembut kedua pipinya. Kepalanya rebah di birai jendela. Angin malam berembus pelan. Rambut hitamnya tersibak, melambai-lambai. Perlahan kedua matanya terpejam. Tanpa sadar ia menghadapi ketakutannya. Hingga syair merdu mengalun menunggu fajar, membuatnya terjaga.

Ia meregangkan badan seraya melirik jam. Pukul lima. Kumandang lembut dari surau-surau mulai bersahutan. Anak itu teringat perkataan ayahnya tentang malaikat. Ia menoleh enggan ke rumah panti seberang jalan. Malaikat, heh? Ia beranjak dari jendela. Dusta! rutuknya dalam hati.

Tepat di saat-saat terakhir, sudut matanya menangkap sebuah gerakan. Langkahnya terhenti. Seorang gadis melintasi gang sepi. Sweter dan rok putihnya begitu kontras dengan latar pagi buta yang kelam. Jepit rambut beruang tersemat di sebelah kiri  poni rambutnya. Gadis itu menenteng keranjang penuh dengan roti. Ia berjalan melintasi halaman panti.

Indah, gumam anak itu pelan. Ucapan takjub yang hanya ia tuturkan sebulan sekali, pagi ini kembali terucap. Namun, bukan untuk sang purnama.

Beberapa menit selang, si gadis keluar dari ambang pintu bersama anak-anak penghuni panti. Mereka menyusuri jalanan sunyi dengan penerangan seadanya. Pakaian serta dandanan unik melekat menghiasi penampilan mereka. Namun, pandangan si anak laki-laki tetap tak teralihkan. Hanya gadis itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun