Mohon tunggu...
Nurhadi
Nurhadi Mohon Tunggu... Lainnya - Mang Hadi Bae

Sudahlah tak perlu kau nilai, aku tak berprestasi. Sedikit bahkan, sebesar zarah mungkin

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Opini: Orang-orang yang Pendiam

9 April 2020   17:12 Diperbarui: 9 April 2020   17:17 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seluk beluk kehidupan memang selalu menarik untuk di tuang dengan tinta, lalu di kisahkan kepada: siapa saja. Sedang saya tidak akan mengajak anda untuk terbang yang menduga-menduga, dengan begini lalu begitu. Karena benar juga menurut, Jaques Derrida, filsuf asal perancis, bahwa apa yang kita ketahui hanyalah bagian dari jejak realitas, bukan realitas itu sendiri. Orang bisa berteori beratus-ratus bab, berkitab-kitab, dan tentu itu hanyalah ilusi.

Sebab realitas adalah pandangan. Seberapa mungkin akan disempitkan dalam kehidupan yang begitu luas ini, sedangkan pandangan diciptakan dari sebuah pendirian yang kokoh dan beragam. Akal pikiran memang senjata sekaligus amunisi untuk menerjang titik merah, namun lupa bahwa ia bisa meleset dan tak tepat sasaran. Apa itu realitas? Saya tidak tahu. Begitu pun sama dengan anda! Sama-sama sebagai ketentuan yang bergerak dengan keterbatasan.

Seperti pada suatu peristiwa yang terjadi di pasar, terdapat seorang filsuf asal yunani yang bernama socrates, seketika lantang berbicara "wahai! sesungguhnya kalian harus mengetahui siapa diri mu sendiri". Itu mengundang pertanyaan dari salah seorang "lalu apakah kamu tahu siapa dirimu itu sendiri?". Socrtes, menjawab "saya tidak tahu, tapi saya tahu bahwa saya tidak tahu". Itulah mengapa sebagai ketentuan yang terbatas, sejatinya manusia harus bijaksana dan mengakui kekurangannya.

Karenanya tidak ada yang tahu kapan daluwarsa dari pandangan itu, yang pasti dunia tidak stagnan. Kicauan cemara akan berbeda dengan cemara lainnya, walau dalam bentuk yang sama (ada yang melengking, pula ada yang redup). Begitupun realitas, ia merupakan pandangan-pandangan yang sejatinya ilusi. Jikalau ada yang merasa mutlak atas realitasnya, berarti ia hidup dalam tempurung. Bisa saja ia menopang dogmanya tapi untuk sementara waktu, selanjutanya rapuh.

Namun jangan serta merta karena "terbatas" ini, banyak orang memelihara keragu-raguan untuk tidak berbuat apapun. Itu sama saja suatu tindakan yang apatis terhadap semesta yang sudah membekali akal pikiran, tapi di sia-siakan. Saya sedang tidak menstimulasikan itu kaum nihilis, sebab mereka juga sebenarnya berfikir untuk sampai di titik yang menyatakan hidup tidak ada tujuannya. Masuk akal memang, tapi saya sukar untuk menerimanya di akal, sebab itu kontingensi.

Seperti yang anda ketahui tentang "orang", masing-masing pasti memiliki kenyamanan nya yang beragam, entah itu di benarkan atau membenarkan, semuanya tergantung yang lain. Yang lain itu adalah cermin terhadap pribadi sendiri, yang kalau menurut Slavoj Zizek, filsuf asal slovenia, bahwa "Aku menjadi aku karena kamu". Koreksi terbaik adalah cerminan yang lain itu. Dan itu pun bukan realitas, karena itu dapat berubah, sekalipun pada seorang yang pendiam.

Sebagian orang akan terusik dengan kehadiran si "pendiam" di lingkungan barunya. Bukan dengan suaranya yang lantang atau tingkahnya yang kurang ajar, melainkan kedataran sikapnya yang tidak sama sekali cocok pada setiap cuplikan waktu. Orang menganggap ketidak cerdasan ialah seseorang yang pendiam. Asumsi itu tumbuh hanya pembenaran dari inderawi saja untuk menstempel si pendiam adalah beban.

Sebagai bukti:

Seberapa besar kemungkinan si pendiam akan diajak terlibat untuk menjadi bagian yang diperhitungkan? Sangat kecil. Orang beranggapan si pendiam akan selalu mengikuti ekor hasil konsensus saja, dan itu pasti. Tidak buruk. Tapi bagaimana terdapat suatu anggapan bahwa: si pendiam hanyalah beban semesta, karena adanya tidak membawa perubahan yang pasti, sebab ia amat lambat. Akhirnya banyak orang yang mengacuhkannya.

Hakikat Pendiam

Di atas tadi hanya sepenggal kecil dari apa yang terjadi, banyaknya tidak ada yang berbeda, yaitu ujung-ujungnya pasti di acuhkan dan di kucilkan dengan berbagai persepsi. Namun apa yang mereka telah lakukan adalah pandangan yang tidak realitas, selanjutnya pasti rapuh. Dan perlu bagi semua untuk berpandang luas sebelum memberikan suatu kesan.

Berpandangan luas itu tidak merasakan buah yang satu saja (mutlak). Tapi untuk mengertinya perlulah berenang di danau yang tenang. Sehingga dapat mengetahui misteri apa yang dapat di ambil selepasnya. Apakah di danau yang tenang itu setenang seperti yang di lihat, atau tiba-tiba suasana menjadi mencekam dari reptil yang mengincar (kita) sejak tadi. Maka dari itu, penting untuk tidak melahirkan suatu kesan atas perhatian dari pikiran sendiri saja.

Sebenarnya akan menjadi rumit jika kita tidak bisa mengendalikan diri dalam ruang kosong, jika sama sekali tidak dipersiapkan sejak awal, sehigga mengganggap semuanya atas kaca mata sepihak. Kesukaran dalam memasuki pemahaman dari manifestasi pendiam itu sesungguhnya kerumitan yang di ciptakan sendiri, dan menganggap itu sia-sia. tidak ada yang pasti dalam ruang kosong tadi, tapi mari kita coba melihat dari kaca mata beningnya embun pagi.

Anti Omong Kosong

Membuang kata-kata yang sebenarnya tidak berguna bagi si pendiam adalah sesuatu pemborosan terhadap energi tubuh. Sebanyak perkataan atau berbicara hanya dalam keadaan yang memungkinkan saja, ia paling berharap ada yang mewakili pikirannya atas apa yang dimaksud. Sehingga jika memang begitu, sudah jelas ia merasa lega dan; yahh... ikut. Ikut atas apa yang diwakilkan tadi.

Tetapi kalau terdapat sesuatu itu yang kurang berkenan, biasanya ia tidak langsung lancang di umum. Strateginya untuk menyampaikan dilakukan dalam ruang yang privat kepada orang tertentu atau yang dimaksud. Kenapa begitu? Karena biasanya (di umum) hanya di dengar, tetapi tidak di perhitungkan. Tentu tidak pada semua kesempatan begitu, ia hanya belajar terhadap apa yang sudah-sudah.

Sesak Pikiran

Ini bukan karena ia sedang leluasa dalam menangkap hal-hal yang tak kasat mata, justru karena sesuatu yang menghampiri dalam dirinya adalah yang mesti di pikirkan. Adapun kebanyakan orang pasti akan bilang: bengong. Bukan juga ia pemikir kelas berat seperti seorang yang bermental laba atau filsuf yang ingin naik jabatan dengan mengagitasi tanpa melihat kondisi, apalagi sedikit memberi solusi. Sama sekali bukan!

Banyaknya apapun itu, yang terlintas di hadapannya membuat sesuatu hal bukan untuk di lewatkan begitu saja. Ia tidak diam dan pasti tidak berlebihan. Namun kesan tadi mungkin, membuat orang bisa salah persepsi terhadap apa yang sebanarnya terjadi. Pendiam dapat dikatakan sesak pikiran, sebab semua hal yang dilihat tadi adalah pendekatan dengan pikiran yang tidak pernah selesai. Maka diam pun bukan syarat untuk berakhir. Selamat untuk berdiam...

Pendengar yang Baik

Untuk menjadi pendengar, ia tidak pernah menegosiasikan nya dalam bentuk perundingan antara hati dengan otak---itu terjadi otomatis atau alamiah. Kebanyakan siapaun yang berbeda dengan nya, akan merasa geram dan berkeinginan menyimpal dengan komentar. Apalgi yang menjadi perbincangan itu adalah sesuatu yang sudah di ketahuinya. Walau sedikit pengetahuan nya, tidak menjadi syarat untuk berkomentar.

Adapun ini tidak menjadi stimulus bagi si pendiam. Ia mencoba perlahan-lahan memahami kata-kata yang menjadi arah haluan terhadap orang yang dipercaya. Maka ia bersikap seperti: awam akan anggur merah adalah minuman yang nikmat. Membiarkannya terus menjadi objek pendengar. Dan seraya berkata: ini sangat berbeda, lebih nikmat dari yang ku pernah teguk. Di tujukannya bahwa, ia tidak tertarik akan omong kosong yang menjadi bayang-bayang nya.

Kerja, kerja, nyata! 

Rencana yang matang tidak akan menjadi kenyataan, jika tidak ada usaha untuk merealisasikan nya. Dalih-dalih ingin menyakinkan orang lain dengan berbilang rencana nya. Namun terkadang siklus tidak melulu menjadi mulus. Kepadanya hanyalah ruang hampa tanpa frekuensi yang pasti. Itu yang menjadi pelajaran bagi kebanyakan seorang pendiam. Ia tidak mengumbar rencana-rencana kecil nya. Dengan orang yang terdekat bahkan, ia masih keras mempertimbangkan.

Kunci bagi si pendiam begitu mulia. Ia cukup membiarkan orang-orang melihat hasil kerja nyata-nya itu, tanpa dahulu mengobral kata. Dengan begitu ia akan merasa puas melihat respon lingkungan nya tanpa omong kosong. Bukankah begitu banyak orang yang berbual atas kemampuan nya? Tangan seolah menggenggam dunia. Padahal dunia tidak pernah tergenggam atas keberhasilan, melainkan ia hanya sebagian kecil yang kita ketahui.

Penuh Perasaan

Kepekaan pada keadaan memang dapat di rasakan dalam intuisi. Semua orang pasti bisa: meraba-raba persona yang menampilkan warna dari setiap objeknya. Namun tidak semua orang mau memikirkannya secara berkelanjutan. Yang sudah, yah sudah. Dengan keadaan apatisnya, terkadang si pendiam di kelompokan dalam ruang yang sama. Padahal ke apatisan dari aspek tersebut, hanya menampilkan ruang yang kasat mata atau gerak tubuh.

Terkecoh oleh pikiran yang sempit memang sangat menakutkan. Kepekaan seorang pendiam selalu penuh dengan pertimbangan yang matang. Karena perlu ditekankan sekali lagi, bahwa ia menghidari omong-omongan yang kosong. Dengan sadar seutuhnya bahwa ia pun bisa bergerak tanpa ragu-ragu, asal prasyarat itu memungkinkan. Apa yang memungkinkan tadi? Seperti, memberi contekan. Dengan syarat, bahwa yang dicontekan harus mengerti, dengan apa yang ia contek tadi. Tapi sekali lagi, harus pada keadaan yang memungkinkan!

***

Tampilan di atas tersebut hanyalah sajian dari bentuk umumnya saja. Sangatlah sulit untuk menyediakan secara khusus dan mendapatkan lencana untuk menuai kesepakatan di antara kita. Bagi saya memang sangat mustahil dalam menggamblangkan semua yang terkait dan manifestasi dari seluk-beluk orang yang pendiam. Guru saya pernah berkata: "orang yang paling sulit di nilai adalah orang yang pendiam". Dan saya setuju.

Orang yang pendiam kerap menampilkan suatu adegan yang tidak terduga. Semuanya adalah ketidaktahuan untuk menjawab; apa itu pendiam. Anda mungkin menyarankan saya memahami lewat teori-teori psikologi guna menjawabnya. Tapi yang perlu anda ketahui bahwa: potensi dalam demikian itu cukup besar, tapi amat rapuh untuk di ambil kesimpulan. Sebab, "apa gunanya memahami suatu teori, padahal kita tidak pernah menjadi dirinya!" Hati-hati omong-kosong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun