Mohon tunggu...
Nurrezki Laiqa
Nurrezki Laiqa Mohon Tunggu... Editor - freelancer

Think, do you live in film or reality?

Selanjutnya

Tutup

Politik

Banteng Betina

2 November 2022   12:35 Diperbarui: 2 November 2022   12:37 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hujan yang mengguyur kota ini sedari siang membawa serta angin kemalasan. Sedari pagi kerjaku hanya berkubang di hape. Membuka-buka album foto facebook sembari mengenang ketololan teman-teman SMP.

Ditemani teh hangat buatan isteri, otakku melayang ke sosok teman yang luar biasa nakal. Namanya Baron. Dia putra kepala sekolah tapi suka bolos dan menganggu anak-anak cewek ketika jam istirahat. Pokoknya berandalan. Nah ketika kenaikan kelas tiga, kami sekelas terkejut bukan kepalang. Baron adalah satu-satunya siswa yang tinggal di kelas dua. Bagimana mungkin anak kepala sekolah tidak naik kelas?

Kelak kemudian hari, bertahun-tahun selepas lulus kuliah aku berjumpa kembali dengannya. Baron pengacara terkenal sekarang. Yang paling mengagetkan, meski sudah kaya raya, sikapnya kini santun dan dermawan.

"Dulu saya marah besar pada Bapak karena tidak naik kelas. Belakangan aku sadar, itulah cara beliau memberi pelajaran dan membuatku sadar," tukasnya ketika kutanyakan.

Hujan masih belum berhenti ketika ingatan pada Baron membuatku terfikir tentang Megawati. Jangan-jangan itulah juga yang sedang dilakukannya pada Puan Maharani.

Sebenarnya, jika meneguhkan egonya, bisa saja ia langsung memberikan tiket Capres pada Tuan Puteri. Tapi tidak. PDIP bagaikan sekolah besar bagi para kadernya. Dan Mega adalah kepala sekolah sejati. Setiap kader sama derajatnya. Semua harus belajar dari bawah. Setiap mereka harus paham bau keringat dan pahitnya derita rakyat.
 
Itulah mengapa Puan ia suruh untuk turba. Bertemu massa grass root, belajar mendengar, belajar memahami persoalan, hingga mencarikan solusi atas setiap persoalan rakyat.

Itu harus dilakukan karena Puan tidak terlahir sebagai anak orang susah. Masa kanak-kanak dan remajanya jarang bersentuhan dengan tanah becek atau tahi ayam yang berceceran di halaman rumah warga desa kebanyakan.

Maka hari ini kita melihat bagaimana Puan mau gupak lumpur di sawah supaya tahu keluhan para petani. Ia juga sering terlihat blusukan ke pasar. Menemui pedagang yang mengeluhkan sepinya pembeli karena harga cabai melambung tinggi.

Benar bahwa untuk anak, semua ibu pastilah memiliki kasih sayang yang melimpah. Mereka ingin yang terbaik dan terpuji untuk sang buah hati. Namun kasih sayang itu diwujudkan Megawati dengan tidak mengistimewakan Puan. Karena jalan tanah yang becek bahkan berlumpur itulah yang akan mengantarkan Puan menuju tujuan politik tertinggi.

Tapi apakah destinasi politik tertinggi itu adalah presiden? Megawati sendiri yang akan menentukan. Ia tentu sudah paham ukuran-ukurannya.

Yang pasti Mega sudah sedari awal mengusung target tinggi dalam Pemilu dan Pilpres 2024. Ia pasang baliho besar-besar: Menang Spektakuler 2024, Hattrick!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun