Mohon tunggu...
Nur Rahmawati
Nur Rahmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Life Long Learning

Penikmat Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Secercah Harapan di Dunia Sastra

27 Februari 2024   09:41 Diperbarui: 27 Februari 2024   10:03 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stanislav Kondratiev from Pexels

"Dalam menyajikan puisi, Taufiq Ismail kerap menggambarkan realita yang terjadi disekitarnya. Tak jarang puisi yang ditulisnya merupakan representasi dari kejadian yang pernah ia alami. Beberapa puisi yang identik dengan nuansa perjuangan melawan penjajahan menghiasi kumpulan sajak yang pernah ia tulis. Misi edukatif Taufiq Ismail untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus mewujudkan eksistensi dunia sastra secara konkret disajikan dalam bentuk puisi. Puisi dapat berfungsi sebagai saksi sejarah, doa, dan ibadah."

Pak Sabil menjelaskan materi kuliah di depan kelas. Ada tiga puluh mahasiswa semester satu di kelas itu, termasuk aku.

"Beragam puisi karya Taufiq Ismail secara tidak langsung berusaha untuk mengingatkan, mengkritik, mengedukasi, maupun menanamkan nilai-nilai moral yang kental dengan jiwa nasionalis dan agamais. Karya-karyanya memiliki ciri khas tersendiri, ia meramu kata dari peristiwa demi peristiwa secara lugas dan jelas. Sebagai penyair yang bersahaja, ia mencoba mengungkapkan duka laranya dalam puisi dengan bahasa sederhana dan mudah untuk dipahami oleh khalayak umum serta menyampaikan sindirannya secara sopan santun." Pak Sabil melanjutkan. Kami menyimaknya dengan seksama.

Bukan tanpa alasan kenapa aku memilih kuliah di jurusan Sastra Indonesia, ini semua bermula ketika aku berusia tujuh belas tahun dan aku baru saja tamat Sekolah Menengah Atas waktu itu.

***

Usia tujuh belas tahun yang aku tunggu-tunggu, dirayakan dengan meriah di rumah panggung kami yang jaraknya sekitar tiga ratus meter dari bibir pantai Lariti, rumah semi villa yang sengaja dibangun oleh bapak sebagai tempat penginapan wisatawan yang datang menikmati pesona alam di Lariti. 

Setiap sekali seminggu aku diajak bapak untuk mengunjungi rumah tersebut, lantas dengan suka rela membantu bapak membersihkan sampah-sampah sisa bebakaran para penyewa, mengepel lantai, dan mengganti seprai.

Sisanya adalah tugas kakak ku, bagian yang membutuhkan tenaga ekstra. Sedangkan bapakku sibuk menata perpustakaan mini di rumah itu, membuat ukiran kalimat-kalimat mutiara lalu dipajang di sudut-sudut yang menurutnya menarik. Rumah itu didesain dengan nuansa literasi biar tampak lebih hidup.

Minggu ketiga di bulan November kala itu, rumah panggung kami sengaja dikosongkan, bapak menggantungkan papan kecil bertuliskan closed di pintu pagar karena ingin merayakan hari ulang tahunku di rumah panggung itu, sebuah rencana yang awalnya dirahasiakan oleh keluargaku kepadaku. Mereka, menyiapkannya diam-diam. Begitu pula dengan hadiah mungil yang akhirnya mengubah haluan cita-citaku.

Di hari yang spesial itu, aku mendapati diriku bagai putri raja. Disambutnya aku dengan kemeriahan yang tak pernahku alami sebelumnya. Di rumah itu pula, sudah berkumpul keluarga besarku. Riuh rendah bunyi terompet kertas menyambutku saat kaki ini tiba di ujung anak tangga. Balon-balon berwarna pink dan putih menghiasi ruangan, adik-adik sepupuku terlihat menggemaskan dengan topi kerucutnya, dan ada kue tart gede di atas meja yang dilengkapi dengan lilin angka tujuh belas, seakan memberi isyarat bahwa eksistensiku di usia yang baru akan segera dimulai.

"Selamat ulang tahun Priska."

Ibu mengawali ucapan selamat ulang tahun kepadaku diikuti oleh saudara-saudaraku yang lain. Aku sendiri, rasanya bahkan belum terbangun dari mimpi tapi tiba-tiba sudah tujuh belas tahun, dimana sebentar lagi aku akan duduk di bangku kuliah. Itulah alasan bapak kenapa merayakan ulang tahunku dengan meriah kali ini. Bapak ingin melepasku dengan bahagia walau berat, beliau menuruti keinginan putri tercintanya untuk kuliah di luar kota, jauh dari rumah, bahkan beda pulau dengan kampung halaman kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun