Mohon tunggu...
Nisrina Haqque
Nisrina Haqque Mohon Tunggu... Pengajar dan pembelajar. -

Seorang pembaca dan pembelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinderella Hati Dennis

25 Juli 2015   13:20 Diperbarui: 25 Juli 2015   13:20 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah mengapa, dari banyak gadis di kampusnya, hanya nama itu yang tertancap paling dalam di palung hati Dennis. Gadis yang manis, dengan tinggi semampai dan rambut sepinggang yang biasanya diikat kuda secara tidak rapi. Mereka mulai bersahabat sejak awal kuliah. Beda jurusan, namun satu fakultas.

Awalnya semua berjalan biasa saja. Mereka tergabung di UKM Band, dan gadis itu yang baru menaruh minat pada alat musik gitar nekat saja masuk di komunitas yang seharusnya beranggotakan mereka yang berada di tingkat menengah dalam bermusik. Dennis sudah memegang gitar sejak pertama kali ia melihatnya ketika kelas 6 SD. Bisa dikatakan bahwa ia sangat mahir. Tetapi Arsya tidak menyerah, dan Dennis-lah yang mengajarinya sampai Arsya lumayan mahir bergitar. Meskipun begitu, Dennis pernah mengatakan bahwa Arsya lebih cocok masuk ke paduan suara ketimbang memanggul gitar listrik yang lumayan berat. Saat mengatakan itu, Arsya hanya tertawa kecil. Ia tidak pernah sadar bahwa sebenarnya suaranya merdu.

Lalu entah sejak kapan, mereka jadi sering bersama. Mencoba mengamen di bis, bernyanyi di kafe bersama teman-teman, menonton konser, berlatih di studio musik, dan seabrek kegiatan lainnya.

Musiklah yang menyatukan jiwa mereka. Mereka sudah terlanjur cocok bersama-sama.

Lalu muncullah keberanian itu. Dennis menawarkan sebuah kehidupan baru untuk Arsya, sebuah kemungkinan bagi mereka untuk menatap masa depan bersama-sama. Hingga maut memisahkan. Tetapi di luar perkiraan Dennis, Arsya sudah jadi milik seseorang. Cincin perak di jari manis tangan kirinya yang diperlihatkan Arsya atas jawabannya. Arsya terlambat mengabari. Dennis hanya mematung, kehilangan amunisi kata-kata. Sebagai gantinya, Arsya berjanji akan mengenalkannya pada Dennis. Dan malam itulah mereka bertemu. Sejak itu pulalah Arsya seolah kian menghilang dari hidupnya.

Dennis tidak keberatan soal itu. Ia masih bisa menghibur hatinya. Tetapi sebuah panggilan di ponselnya dari Arsya mengacaukan konsentrasi yang susah payah dibangunnya. Dan itu tepat dua bulan sejak kejadian itu.

“Ke tempat biasa?” Sabtu malam, Dennis sudah berada di teras kos Arsya.

Arsya mengangguk.

“Ehm, lo.. rapi amat,” Dennis bergumam pelan. Tidak biasanya Arsya serapi ini. Paduan rok selutut tanpa lengan hitam-putihnya menyatu dengan celana jeans hitam. Sepatunya bukan lagi sepatu kets yang biasa, kini berubah menjadi flat shoes putih. Dan tas selempangnya yang biasa berganti menjadi tas tangan yang lebih cocok untuk nge-mall. Rambutnya yang biasanya diikat kuda acak-acakan kini setengah digerai rapi.

“Ceritanya panjang,” Arsya berkata pendek. “Ayo.”

Setengah jam kemudian, mereka sampai di Simpang Lima. Malam minggu begini, memang paling enak turun ke bawah, mencari angin segar. Dulu setiap akhir minggu mereka selalu kemari. Dennis mengambil beberapa helai koran di jok motornya, kemudian memasukkannya ke dalam tas gitar yang digendongnya. Mereka lalu membeli jagung dan kacang rebus, kemudian duduk di tengah lapangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun