Sleman- Ibu Idah, seorang pekerja swasta dan juga salah satu pendiri Yayasan Efata untuk Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ). Yayasan Efata berdiri pada tanggal 06 Agustus 2001, sebelumnya Yayasan Efata didirikan oleh temannya, lalu beliau memutuskan untuk bergabung dan mengelolah Yayasan tersebut hingga saat ini, namun temannya tidak bisa lagi meneruskan yayasan itu karena harus kembali ke daerah asalnya.
"Sebelumnya kan Yayasan Efata sudah ada sebelum saya, ada teman yang sudah mendahului, nah terus saya gabung sama teman saya ini, tapi teman saya tidak bisa meneruskan lagi karena beliau harus kembali ke daerah asalnya," kata Ibu Idah saat ditemui dikediamannya .
Pada awal berdirinya Yayasan Efata baru menampung tiga orang ODGJ, untuk merawat para ODGJ beliau sempat mengontrak sebuah rumah, Ibu Idah hanya mengambil ODGJ perempuan, hal ini karena beliau merasa terenyuh melihat sesama perempuan mengalami gangguan kejiwaan dan terlantar di jalan. Namun setelah menikah suaminya memutuskan untuk bergabung merawat ODGJ di Yayasan tersebut, Ibu Idah akhirnya mengambil ODGJ yang ditemui di jalan, baik laki-laki maupun perempuan, kini Yayasan Efata dikelolah bersama dengan suami dan satu orang pekerja dengan jumlah ODGJ sebanyak 26 orang.
"Waktu saya masuk sudah ada tiga orang ODGJ yang diambil dari jalan gitu, ya cuman kontrak rumah gitu kan, jadi kita ambil mereka dari jalan dan memang fokus kami itu dari jalanan ya, bukan dari titipan keluarga, yang benar-benar tidak terawat dan tidak dipedulikan orang. Salah satu motivasi saya juga awalnya hanya mengambil ODGJ perempuan karena saya terenyuh melihat mereka yang terlantar di jalanan apalagi kita kan sama-sama perempuan. Setelah teman saya ini kembali ke daerah asalnya akhirnya dari tahun 2005 saya yang meneruskan sampai hari ini, waktu itu saya hanya dibantu relawan perempuan sampai akhirnya saya menikah dengan suami tahun 2008, dan tahun 2011 suami memutuskan gabung dengan saya, disitulah kemudian kami mengambil ODGJ laki-laki. ODGJ yang ada di sini itu tadinya 28 orang, sebulan yang lalu 2 orang meninggal karena sakit, jadi sekarang sisah 26 orang," kata Ibu Idah.
Ibu Idah kemudian bercerita, dia dulunya seorang Mahasiswi Jurusan Sekertaris di Universitas Asmi Santamaria. Setiap kali keluar dari kosan dan bertemu dengan ODGJ, beliau merasa terenyuh dan menangis. Bahkan Ibu Idah juga mengatakan bisa membedakan antara ODGJ, pengemis, dan anak jalanan meskipun dari penampilan mereka memiliki kesamaan.
"Setiap kita mempunyai panggilan hati, sesuatu yang mendorong kita untuk melakukan sesuatu yang mungkin sebelumya tidak terpikir. Saya memang kuliah jurusan sekertaris, ya tau sendiri ya kalau kuliah sekertaris berhubungan dengan administrasi dan sebagainya, tapi secara sosial kalau saya keluar dari kos gitu, kalau saya lihat ODGJ, saya itu selalu terenyuh, nangis pasti malah. Tapi herannya saya bisa bedakan mana pengemis, ODGJ, dan anak jalanan, inikan hampir mirip-mirip ya penampilannya kalau di jalan, namun hanya ODGJ yang pasti saya menangis, saya bisa membedakannya hanya dengan feeling saja, misalnya dari tingkahnya, saya banyak lihat itu orang jalanan kelihatannya aneh gitu, tapi sebenarnya mereka ngga ODGJ, kadang sesekali kalau di jalan sendiri ketemu ODGJ saya ajak ngobrol awal-awalnya nyambung, namun kesini-sini tu jadi ngga nyambung, keyakinan saya langsung tau betul memang dia gangguan jiwa," kata Ibu Idah.
Untuk tingkat kesulitan yang dirasakan oleh Ibu Idah dalam merawat ODGJ sangat terasa pada tiga bulan pertama. Menurutnya hal tersebut dikarenakan adanya penyusaian yang harus dilakukan oleh ODGJ yang baru masuk ke Yayasan Efata, jika dulu mereka hidup dengan bebas di jalanan setelah masuk harus mengikuti aturan yang telah dibuat.
"Tingkat kesulitan pada tiga bulan pertama waktu saya ambil dari jalan, itu masa-masa adaptasi mereka dimana mereka terbiasa hidup di jalan tanpa diatur, masuk ke sini semuanya berubah harus mengikuti aturan kami, misalnya bangun pagi, makan, dan apapun diatur di sini, nah ini yang membuat mereka berat dan di sinilah mulai ada pemberontakan, awalnya yang manut jadi melawan dan sebagainya," kata Ibu Idah.
Ibu Idah menambahkan ODGJ perempuan yang dirawatnya kebanyakan adalah korban pelecehan seksual, penganiayaan, dan ditinggal oleh suaminya. Beliau kemudian menceritakan salah satu ODGJ yang menjadi korban pelecehan seksual, perempuan tersebut korban pemerkosaan secara beramai-ramai lalu kemudian dianiaya.
"Saya pernah mengambil perempuan dia itu korban pemerkosaan ramai-ramai dan dianiaya, jadi saya pas ketemu dia itu sudah banyak bekas-bekas jahitan, setiap hari diajak ngobrol selalu tidak nyambung, setelah saya periksa ternyata dibagian kepalanya tepat dibagian otak kecilnya ada sayatan yang panjang dan pasti sarafnya sudah putus dan rusak. Tuhan itu memang baik, apakah ini mukjizat saya juga ngga tau ya, tapi suatu hari anak ini tiba-tiba saja seperti orang normal, saat diajak berbicara nyambung gitu, jadi menurut ceritanya dia itu katanya jalan pulang kerumah tapi sudah terlalu malam dan dia sendirian karena teman-temannya sudah sampai di rumahnya masing-masing, dia yang terakhir untuk pulang, nah di tengah jalan sepi begitu tiba-tiba dia dicegat lima orang cowok dan diseret ke semak-semak terus diperkosa, saat laki-laki yang kelima mau perkosa dia, dia melawan, pas dia melawan teman-temannya langsung menganiaya, ada yang menyayat, ada yang bacok pake pisau sampai dia pingsan, di tengah jalan dia dilempar dengan lima orang ini lalu ditinggal pergi, tapi anak ini sekarang sudah meninggal dunia. Ini jugalah salah satu alasan saya kenapa dulu hanya mengambil ODGJ perempuan karena saya ingin membebaskan mereka dari itu pelecehan seksul, saya memposiskan diri bagaimaan kalau saya diposisi mereka belum tentu bisa kuat," kata ibu idah dengan raut wajah yang sedih.