Pada tahun 2015, Conference Of the Partis (COP) ke dua puluh satu diadakan untuk membahas mengenai isu lingkungan dan pada akhirnya terbitlah sebuah perjanjian internasional yang kita kenal sebagai “Paris Agreement”.
Untuk lebih detail, Paris Agreement adalah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum tentang perubahan iklim. Perjanjian ini diadopsi oleh 196 negara/parties pada COP21 di Paris, pada 12 Desember 2015 dan mulai berlaku pada 4 November 2016. Tujuannya adalah untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 2, lebih bagus jika bisa di bawah 1,5 derajat Celcius, dibandingkan dengan tingkat pra-industri.
Untuk mencapai tujuan suhu jangka panjang ini, negara-negara bertujuan untuk mencapai puncak global emisi gas rumah kaca sesegera mungkin untuk mencapai dunia yang netral iklim pada pertengahan abad.
Perjanjian Paris disebut sebagai tonggak penting dalam proses perubahan iklim multilateral karena, untuk pertama kalinya, perjanjian yang mengikat membawa semua negara ke dalam tujuan bersama untuk melakukan upaya ambisius untuk memerangi perubahan iklim dan beradaptasi dengan dampaknya.
Setelah disahkan pada tahun 2015, Rusia telah menandatanganinya di tahun 2016, yang sebenarnya penandatanganan perjanjian memberikan pilihan kepada negara-negara tentang bagaimana cara bergabung dengan perjanjian melalui ratifikasi, penerimaan, persetujuan, atau aksesi ke perjanjian, tergantung pada undang-undang nasional mereka. Pada akhirnya, Rusia baru meratifikasi dan bergabung secara formal dalam Paris Agreement di tahun 2019.
Pemberitahuan tersebut menyatakan bahwa dengan menandatangani Perjanjian Iklim Paris, Rusia mengakui komitmennya berdasarkan perjanjian tersebut.
Perjanjian Paris 2015, yang menangani mitigasi, adaptasi, dan keuangan emisi gas rumah kaca, merupakan bagian dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Negara-negara industri memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara terbelakang sebagai bagian dari Perjanjian Paris untuk inisiatif yang ditujukan untuk pengembangan kapasitas, transfer teknologi, dan perlindungan iklim.
Vladimir Putin, presiden Rusia, menyatakan pada 19 Agustus 2019 bahwa pemerintah negara itu telah memutuskan untuk bergabung dengan perjanjian dan telah mengambil komitmen yang sangat serius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ke tingkat yang 75% lebih rendah daripada tahun 1990 dalam beberapa tahun berikutnya dan ke tingkat yang 70% lebih rendah pada tahun 2030. Seluruh ekonomi Rusia perlu dibangun kembali secara substansial untuk memenuhi kewajiban utama ini.
Mengapa Rusia membutuhkan waktu lama untuk meratifikasi Paris Agreement?
Perwakilan Rusia mengatakan bahwa sebenarnya Rusia membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengevaluasi dampak dari Paris Agreement pada ekonomi Rusia, yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Pemerintah ingin menyusun strategi pembangunan rendah karbon sebelum memutuskan untuk meratifikasi perjanjian tersebut.
Selain itu, ada hambatan serius lainnya untuk pembangunan iklim ini. Rusia sering diyakini tidak dapat menerapkan kebijakan iklim domestik yang agresif karena kendala keuangan, yaitu kurangnya dana untuk inisiatif pengurangan emisi dan efisiensi energi.
Seorang wakil tingkat tinggi dari Kementerian Pembangunan Ekonomi menyatakan pada konferensi kelompok bersama China-Rusia di tahun 2016, tentang perubahan iklim bahwa inisiatif utama dalam regulasi karbon di Rusia harus difokuskan pada efisiensi energi yang membutuhkan investasi tahunan minimal €6 miliar.
Di Rusia, penghematan energi menjadi prioritas utama dari 2009 hingga 2011. Namun, masalah tersebut telah diabaikan karena sanksi internasional yang dijatuhkan karena situasi di Ukraina. Untuk tahun ketiga berturut-turut, insentif regional untuk inisiatif penghematan energi dan pengurangan emisi dihilangkan.
Masalah lainnya adalah kurangnya akses ke sumber pendanaan internasional; sekali lagi, sebagai akibat dari sanksi internasional, banyak donor internasional dan organisasi pembangunan telah berhenti mendukung proyek di Rusia yang bertujuan untuk mengurangi emisi.
Rusia terus mengadvokasi pakta iklim global baru di panggung internasional meskipun ada masalah internal dalam upaya untuk menunjukkan keterbukaannya terhadap langkah-langkah iklim.
Menurut beberapa analis, termasuk ahli ekonomi George Safonov, Rusia berusaha untuk memantapkan dirinya sebagai pemain global utama sambil secara bersamaan membina hubungan "netral" dengan Barat dengan menunjukkan kesediaannya untuk memerangi perubahan iklim dan masalah lingkungan.
Dengan mengajukan gagasan untuk menciptakan platform untuk teknologi hijau, Rusia juga berusaha untuk memajukan kerja sama iklim dan lingkungan dengan Brasil, India, Cina, dan Afrika Selatan.
Akankah upaya global ini cukup jika Rusia tidak bergabung dengan penghasil emisi utama lainnya dan meratifikasinya? Menurut para ahli, jika Rusia tidak menandatangani Paris Agreement, negara tersebut akan kehilangan kemampuannya untuk berpartisipasi dalam pemungutan suara dan pengambilan keputusan dalam kelompok kerja iklim di masa depan.
Itu akan sangat disayangkan. Menjaga penghasil emisi terbesar kelima di dunia untuk diskusi iklim berikutnya sangat penting, terlepas dari betapa lambatnya proses ratifikasinya. Ini berarti menjaganya tetap duduk di meja.
Sebagai kesimpulan, Rusia sebenarnya telah menandatangani Paris Agreement pada tahun 2016, tetapi baru meratifikasi perjanjian ini pada tahun 2019 karena Rusia merasa harus mengevaluasi terlebih dahulu keuangan negara dan juga Rusia harus membuat strategi untuk menjalankan pengurangan emisi karbon ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H