Mohon tunggu...
Nur Patimah
Nur Patimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1

NIM: 43221120052 | Program Studi: Sarjana Akuntansi | Fakultas: Ekonomi dan Bisnis | Jurusan: Akuntansi | Universitas: Universitas Mercu Buana | Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Penerapan Penyebab Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Kiltgard

16 November 2024   01:04 Diperbarui: 16 November 2024   01:07 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan, jabatan, atau wewenang untuk keuntungan pribadi atau kelompok, yang sering kali merugikan kepentingan publik. Secara umum, korupsi mencakup berbagai bentuk perilaku ilegal atau tidak etis, seperti menerima suap, penggelapan dana, pemerasan, penyalahgunaan anggaran, atau penyelewengan aset negara. 

Korupsi di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang, bahkan sebelum negara ini merdeka. Pada masa kolonial Belanda, korupsi telah menjadi bagian dari sistem pemerintahan, terutama melalui kebijakan seperti Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa. 

Dalam kebijakan ini, banyak pejabat kolonial dan priyayi lokal menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk memperkaya diri, dengan memaksa rakyat menyerahkan hasil bumi tanpa imbalan yang layak. Selain itu, pungutan liar dan penyelewengan pajak juga menjadi praktik umum. Setelah kemerdekaan, korupsi tidak hilang, melainkan terus berkembang. 

Pada era Orde Lama di bawah Presiden Soekarno, kelemahan sistem hukum dan pengelolaan negara yang buruk membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan dan penyelewengan anggaran untuk proyek-proyek besar.

Puncak korupsi sistemik terjadi pada era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Pada masa ini, korupsi menjadi terorganisir melalui praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Sentralisasi kekuasaan membuat korupsi menjadi bagian dari birokrasi dan pemerintahan. 

Banyak proyek pemerintah yang dikelola secara tidak transparan, dengan dana yang sering kali disalurkan ke yayasan-yayasan milik keluarga Soeharto. 

Meski era Reformasi setelah 1998 membawa harapan baru dengan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus-kasus besar tetap terjadi, seperti skandal Bank Century dan Hambalang. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi tantangan besar, meski ada upaya penanganan yang lebih serius.

Bahaya Korupsi bagi Indonesia

Korupsi membawa dampak yang sangat merugikan bagi berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Dalam bidang ekonomi, korupsi menguras anggaran negara karena dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan sering kali diselewengkan. 

Hal ini menghambat pertumbuhan ekonomi, menurunkan investasi asing, dan menciptakan kesenjangan ekonomi yang semakin lebar. Ketimpangan antara kelompok kaya dan miskin semakin membesar, karena kekayaan negara hanya dinikmati oleh segelintir elit. Dari sisi politik, korupsi merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. 

Ketidakpercayaan ini dapat memicu instabilitas politik dan melemahkan sistem demokrasi, karena pejabat yang korup dapat memanipulasi proses pemilu untuk mempertahankan kekuasaan mereka.

Dampak sosial korupsi juga sangat signifikan. Ketidakadilan yang diakibatkan oleh korupsi membuat masyarakat kecil menderita, terutama karena dana yang seharusnya digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur lainnya tidak sampai pada tujuan. 

Selain itu, ketidakpuasan sosial yang timbul dari ketidakadilan sering kali berujung pada peningkatan kriminalitas. Dalam bidang lingkungan, korupsi pada perizinan tambang atau proyek pembangunan menyebabkan kerusakan alam yang parah. Hal ini mencakup deforestasi, pencemaran lingkungan, dan rusaknya ekosistem. 

Sementara itu, dalam bidang pendidikan dan kesehatan, korupsi mengakibatkan kualitas layanan publik yang buruk. Sekolah-sekolah menjadi rusak, fasilitas kesehatan tidak memadai, dan masyarakat miskin tidak mendapat layanan yang layak.

Korupsi bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah moral, sosial, dan struktural yang memerlukan penanganan menyeluruh. 

Dengan sejarah yang begitu panjang dan dampak yang begitu luas, Indonesia harus mengatasi korupsi dengan langkah-langkah konkret, seperti penegakan hukum yang tegas, transparansi pemerintah, serta pelibatan masyarakat dalam pengawasan. Tanpa upaya serius, korupsi akan terus menjadi penghambat utama bagi pembangunan dan kesejahteraan bangsa.

Gambar pribadi Nur Patimah
Gambar pribadi Nur Patimah

What: Pendekatan Robert Klitgaard dalam Memahami Korupsi

Korupsi di Indonesia adalah masalah struktural yang telah mengakar dalam berbagai sektor pemerintahan dan kehidupan sosial-ekonomi. Fenomena ini tidak hanya merugikan negara secara langsung, tetapi juga menghambat pembangunan, menciptakan ketidakadilan, dan merusak reputasi institusi negara. 

Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, salah satunya melalui pendekatan akademik yang dikemukakan oleh Robert Klitgaard, seorang ahli ekonomi yang dikenal dengan teori-teori tentang penyebab dan pencegahan korupsi. 

Klitgaard mengembangkan sebuah model yang mengidentifikasi tiga faktor utama yang menyebabkan terjadinya korupsi: monopoli, diskresi, dan akuntabilitas. Melalui pendekatan ini, kita bisa lebih memahami akar penyebab korupsi dan menemukan solusi yang lebih efektif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. 

Robert Kiltgard menilai, pemberantasan korupsi tidak akan berhasil bila hanya menggunakan pendekatan normatif. Harus ada terobosan progresif yang bagi kalangan normatif mungkin dianggap aneh. 

Korupsi = Monopoli + Kewenangan Bertindak - Pertanggungjawaban 

Robert Klitgaard, dalam bukunya yang berjudul Controlling Corruption (1988), menjelaskan teori korupsi dengan menggunakan persamaan sederhana yang menggabungkan tiga elemen utama: C = M + D - A, di mana C adalah tingkat korupsi, M adalah monopoli, D adalah diskresi, dan A adalah akuntabilitas. 

Teori ini memberikan gambaran yang jelas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi, serta bagaimana ketiga faktor tersebut dapat saling berinteraksi untuk menciptakan kondisi yang rentan terhadap korupsi.

  1. Monopoli (M): Monopoli terjadi ketika satu pihak atau institusi memiliki kendali eksklusif atas akses ke sumber daya atau proses tertentu. Contohnya adalah monopoli dalam pengadaan barang dan jasa, distribusi perizinan, atau alokasi anggaran. Ketika akses ke sumber daya atau proses tersebut hanya berada di tangan segelintir orang, mereka dapat memanfaatkan posisi tersebut untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Monopoli mengurangi persaingan dan meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan. Dalam sistem yang monopolistik, orang yang membutuhkan layanan atau akses harus tunduk pada aturan pihak yang berkuasa, yang sering kali membuka peluang bagi praktik-praktik korupsi seperti suap atau gratifikasi.

  2. Diskresi (D): Kewenangan bertindak atau diskresi merujuk pada kebebasan pejabat publik untuk membuat keputusan tanpa batasan yang jelas atau pengawasan yang memadai. Misalnya, pejabat yang memiliki wewenang penuh untuk memberikan izin usaha, menentukan pemenang tender, atau memutuskan alokasi dana sering kali memiliki peluang besar untuk menyalahgunakan kewenangan tersebut. Diskresi yang tidak diatur memungkinkan pejabat untuk bertindak berdasarkan kepentingan pribadi atau tekanan pihak lain, sehingga membuka peluang bagi terjadinya korupsi. Situasi ini diperburuk jika tidak ada mekanisme transparansi yang mewajibkan pejabat untuk menjelaskan keputusan yang mereka ambil.

  3. Akuntabilitas (A): Pertanggungjawaban atau akuntabilitas adalah elemen yang berfungsi sebagai kontrol atas tindakan pejabat publik. Akuntabilitas mencakup pengawasan oleh masyarakat, lembaga pengawas, atau sistem internal di pemerintahan. Ketika pejabat tidak diwajibkan untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka, mereka cenderung merasa bebas untuk bertindak tanpa memperhatikan dampak atau konsekuensinya. Kurangnya akuntabilitas sering kali disebabkan oleh lemahnya sistem pengawasan, tidak transparannya proses pemerintahan, dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam mengawasi pejabat publik.

Pendekatan Klitgaard tidak hanya membantu dalam mengidentifikasi penyebab korupsi, tetapi juga memberikan panduan tentang bagaimana mengatasi masalah tersebut. Fokusnya adalah pada perbaikan sistem, bukan hanya menghukum individu yang melakukan korupsi. 

Pendekatan ini menekankan bahwa solusi korupsi memerlukan reformasi struktural yang melibatkan pengurangan monopoli, pembatasan kewenangan bertindak, dan penguatan mekanisme akuntabilitas. 

Model ini memberikan kerangka kerja yang mudah dipahami namun sangat relevan dalam menganalisis korupsi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dengan menggunakan formula ini, pemerintah dapat mengidentifikasi area rawan korupsi dan merancang kebijakan yang lebih terarah untuk mencegahnya. 

Pendekatan Klitgaard juga menyoroti pentingnya partisipasi masyarakat dan lembaga non-pemerintah dalam mengawasi kinerja pemerintah, sehingga korupsi dapat dicegah sejak awal.

Sebagai contoh, Klitgaard menjelaskan bahwa untuk mengurangi monopoli, pemerintah harus mendorong persaingan yang sehat, misalnya dengan membuka tender publik kepada lebih banyak pelaku usaha. 

Untuk membatasi kewenangan bertindak, perlu ada regulasi yang jelas tentang prosedur pengambilan keputusan, serta penggunaan teknologi seperti sistem e-government untuk meminimalkan interaksi langsung antara pejabat dan masyarakat. Sementara itu, untuk meningkatkan akuntabilitas, transparansi dalam laporan keuangan dan mekanisme pelaporan publik yang efektif harus diterapkan agar pejabat merasa diawasi. 

contoh konkret:

Kasus Suap pada Sektor Perizinan Tambang di Kalimantan Timur (2021)

Konteks: Penerbitan izin usaha pertambangan oleh kepala daerah yang melibatkan suap dari pengusaha.

  • Monopoli (M): Kepala daerah memiliki kewenangan tunggal dalam menerbitkan izin tambang.
  • Kekuasaan (K): Jabatan kepala daerah digunakan untuk meminta imbalan finansial sebagai syarat penerbitan izin.
  • Kurangnya Akuntabilitas (A): Tidak ada transparansi atau audit independen dalam proses penerbitan izin, sehingga praktik suap dapat berlangsung dengan leluasa.

Hasil: Lingkungan rusak akibat eksploitasi tambang ilegal, dan kepala daerah akhirnya dihukum. Kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan di sektor sumber daya alam.

Secara keseluruhan, pendekatan ini mengajarkan bahwa korupsi bukan hanya persoalan individu yang tidak bermoral, melainkan merupakan hasil dari kelemahan sistemik yang harus diperbaiki melalui reformasi struktural yang menyeluruh. 

Dengan memahami tiga elemen utama dalam formula Klitgaard, negara-negara seperti Indonesia dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mengatasi korupsi dan menciptakan pemerintahan yang lebih bersih dan transparan.

How : Penanganan korupsi di Indonesia Jika dilihat dari pendekatan Robert Klitgaard

Pendekatan ini memberikan arahan konkret untuk mengatasi setiap elemen yang menjadi penyebab korupsi. Berikut adalah upaya yang dapat dilakukan:  

1. Mengurangi Monopoli: Memecah Kekuasaan yang Terpusat

Monopoli kekuasaan menjadi sumber utama korupsi karena memberikan kendali penuh pada satu pihak atas sumber daya, keputusan, atau layanan yang dibutuhkan masyarakat. Untuk mengurangi monopoli, langkah-langkah berikut dapat diambil:

a. Mendorong Persaingan yang Sehat di Sektor Pemerintah

  • E-Procurement (Pengadaan Elektronik):
    Banyak kasus korupsi di Indonesia terjadi dalam proses pengadaan barang dan jasa. Dengan menerapkan sistem pengadaan elektronik, transparansi dapat ditingkatkan. Misalnya, seluruh tender pemerintah wajib dilakukan secara online dan diawasi oleh lembaga independen. Hal ini dapat mengurangi peluang bagi pejabat untuk memberikan proyek kepada kroni mereka.

  • Peningkatan Partisipasi Swasta:
    Pemerintah harus membuka akses kepada pelaku usaha kecil dan menengah untuk bersaing dalam proyek pemerintah. Saat ini, banyak proyek hanya diberikan kepada segelintir perusahaan besar, yang sering kali memiliki hubungan dekat dengan pejabat. Dengan memperluas partisipasi, peluang monopoli dapat dikurangi.

b. Desentralisasi yang Efektif

  • Distribusi Kekuasaan Secara Adil:
    Pemerintah harus memastikan desentralisasi kekuasaan dilakukan secara adil dan transparan. Namun, desentralisasi bukan hanya memindahkan monopoli dari pusat ke daerah; perlu ada pengawasan yang ketat terhadap pejabat daerah.

  • Mekanisme Pemberdayaan Masyarakat Lokal:
    Dalam proyek pembangunan daerah, masyarakat lokal harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan, sehingga mereka dapat mengawasi langsung penggunaan dana dan mencegah penyalahgunaan.

c. Reformasi Sektor Monopolistik

  • Liberalisasi Sektor Penting:
    Banyak sektor di Indonesia, seperti energi, transportasi, dan komunikasi, masih dikuasai oleh perusahaan atau lembaga tertentu yang memegang monopoli. Dengan mendorong persaingan di sektor ini, transparansi dan efisiensi akan meningkat.

  • Penghapusan Proses Perizinan yang Tidak Perlu:
    Monopoli sering muncul karena adanya perizinan yang kompleks. Penyederhanaan prosedur izin usaha atau izin pembangunan dapat mengurangi peluang pejabat memanfaatkan kewenangan mereka untuk keuntungan pribadi.

2. Membatasi Kewenangan Bertindak (Diskresi): Menekan Peluang Penyalahgunaan Wewenang

Diskresi yang terlalu luas membuka peluang korupsi karena pejabat memiliki kebebasan besar dalam membuat keputusan. Berikut adalah beberapa cara untuk membatasi diskresi pejabat publik:

a. Peraturan yang Jelas dan Ketat

  • Mekanisme Standar Operasional Prosedur (SOP):
    Setiap keputusan yang diambil pejabat harus mengikuti aturan dan prosedur yang telah ditetapkan. Misalnya, dalam pengalokasian anggaran, harus ada panduan tertulis yang rinci untuk memastikan keputusan tidak dibuat berdasarkan preferensi pribadi.

  • Pengawasan dalam Penentuan Kebijakan:
    Setiap kebijakan yang dibuat pejabat publik harus melalui proses evaluasi yang melibatkan banyak pihak, seperti lembaga legislatif, akademisi, dan masyarakat. Hal ini dapat membatasi diskresi dan mengurangi peluang penyalahgunaan.

b. Digitalisasi Pelayanan Publik

  • E-Government untuk Mengurangi Interaksi Langsung:
    Salah satu sumber korupsi adalah interaksi langsung antara pejabat dan masyarakat. Dengan memanfaatkan teknologi digital, seperti aplikasi daring untuk pembayaran pajak atau pengajuan izin, pejabat tidak dapat memanfaatkan kekuasaannya untuk meminta uang tambahan.

  • Penerapan Teknologi Blockchain:
    Teknologi blockchain dapat digunakan untuk menciptakan sistem yang transparan dalam pengelolaan keuangan negara. Setiap transaksi yang dilakukan oleh pemerintah dapat diawasi secara langsung oleh publik tanpa bisa dimanipulasi.

c. Pengurangan Overlapping Kewenangan

  • Restrukturisasi Birokrasi:
    Diskresi yang tidak jelas sering kali muncul karena tumpang tindih kewenangan antar instansi pemerintah. Pemerintah perlu melakukan pemetaan ulang terhadap tugas dan fungsi masing-masing lembaga untuk menghindari kebingungan dalam pelaksanaan tugas.

3. Meningkatkan Akuntabilitas: Memastikan Pejabat Bertanggung Jawab

Akuntabilitas adalah elemen penting dalam mengurangi korupsi. Ketika pejabat publik diawasi dengan ketat dan diminta bertanggung jawab atas tindakannya, peluang korupsi dapat ditekan secara signifikan. Berikut adalah langkah-langkah untuk meningkatkan akuntabilitas:

a. Transparansi dalam Pengelolaan Keuangan

  • Publikasi Laporan Keuangan Pemerintah:
    Setiap laporan keuangan negara harus diumumkan secara terbuka agar masyarakat dapat melihat alokasi dana. Dengan demikian, masyarakat memiliki akses untuk memantau apakah anggaran digunakan sesuai tujuan.

  • Audit Independen Secara Berkala:
    Audit yang dilakukan oleh lembaga independen, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), harus dilakukan secara rutin dan hasilnya dipublikasikan. Jika ditemukan penyimpangan, tindakan hukum harus segera diambil.

b. Mekanisme Whistleblowing yang Efektif

  • Sistem Pelaporan yang Aman:
    Pemerintah perlu menyediakan platform yang aman bagi masyarakat untuk melaporkan korupsi tanpa takut akan intimidasi atau ancaman. Perlindungan hukum bagi whistleblower juga harus diperkuat agar mereka merasa aman melaporkan penyalahgunaan kekuasaan.

  • Penghargaan bagi Pelapor:
    Untuk mendorong lebih banyak orang melaporkan korupsi, pemerintah dapat memberikan insentif berupa penghargaan atau imbalan bagi pelapor yang informasinya terbukti benar.

c. Penegakan Hukum yang Tegas

  • Sanksi yang Berat bagi Pelaku Korupsi:
    Penerapan hukuman berat, seperti denda besar atau hukuman penjara yang lama, dapat memberikan efek jera. Selain itu, pelaku juga harus diwajibkan mengembalikan seluruh kerugian negara.

  • Penanganan yang Cepat dan Tidak Pandang Bulu:
    Kasus-kasus korupsi harus ditangani secara cepat dan tanpa diskriminasi. Tidak boleh ada perlakuan khusus bagi pejabat tinggi atau individu dengan koneksi politik.

d. Pemberdayaan Masyarakat dan Media

  • Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan:
    Pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam mengawasi kinerja pejabat publik, misalnya melalui forum diskusi terbuka atau mekanisme survei kepuasan masyarakat terhadap layanan publik.

  • Peran Media dalam Transparansi:
    Media memainkan peran penting dalam mengungkap kasus korupsi dan memberikan informasi kepada masyarakat. Kebebasan pers harus dijamin agar media dapat menjalankan fungsi pengawasannya tanpa tekanan.

Why : Mengapa Pendekatan Klitgaard Relevan dalam Konteks Indonesia?

Korupsi di Indonesia adalah masalah yang sangat kompleks, dan sudah menjadi bagian dari kultur politik dan birokrasi negara selama puluhan tahun. Oleh karena itu, penting untuk memahami akar penyebabnya agar upaya pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara lebih efektif dan berkelanjutan. 

Pendekatan Klitgaard sangat relevan di Indonesia karena beberapa alasan berikut:

  1. Kultur Monopoli dalam Sektor Publik: Di Indonesia, banyak sektor publik yang dikuasai oleh segelintir pihak atau perusahaan, seperti pengadaan barang dan jasa, izin usaha, dan kontrak-kontrak pemerintahan. Monopoli ini menciptakan peluang besar bagi pejabat publik untuk melakukan korupsi, karena mereka memiliki kontrol penuh atas alokasi sumber daya yang sangat dibutuhkan masyarakat dan dunia usaha. Dalam hal ini, penerapan pendekatan Klitgaard yang menekankan pengurangan monopoli akan sangat berguna untuk membuka pasar dan meningkatkan persaingan yang sehat.

  2. Diskresi yang Tidak Terkontrol: Di Indonesia, pejabat publik sering kali diberikan kewenangan yang sangat luas dalam pengambilan keputusan tanpa adanya pengawasan yang ketat. Misalnya, dalam proses pemberian izin, pengawasan anggaran, atau bahkan dalam hal penegakan hukum. Diskresi yang terlalu besar tanpa kontrol akan membuka peluang bagi tindakan korupsi, seperti suap atau nepotisme. Oleh karena itu, penting untuk menerapkan kontrol yang lebih ketat terhadap kewenangan yang diberikan kepada pejabat untuk mengurangi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

  3. Kekurangan Akuntabilitas dan Transparansi: Indonesia masih menghadapi masalah dalam hal transparansi dan akuntabilitas di banyak sektor pemerintahan. Proses pengambilan keputusan yang tidak transparan sering kali menyulitkan masyarakat untuk memantau dan mengevaluasi kinerja pejabat publik. Laporan keuangan yang tidak akurat dan pengawasan yang lemah juga memperburuk situasi. Pendekatan Klitgaard, yang menekankan pentingnya akuntabilitas, sangat relevan untuk memperbaiki sistem pemerintahan di Indonesia.

Karena itu, pendekatan Klitgaard menawarkan solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasi akar masalah korupsi di Indonesia, dengan cara mengurangi monopoli, membatasi diskresi pejabat, dan meningkatkan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan publik. 

Korupsi di Indonesia merupakan masalah serius yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda dan terus berkembang hingga era modern. 

Berdasarkan pendekatan Robert Klitgaard, yang menyatakan bahwa korupsi terjadi akibat adanya monopoli, kekuasaan yang besar, dan kurangnya akuntabilitas, kita dapat melihat bagaimana ketiga faktor ini memainkan peran penting dalam berbagai kasus korupsi di Indonesia. 

Monopoli yang dikuasai oleh segelintir pihak, seperti pejabat atau kelompok tertentu, memungkinkan mereka untuk mengendalikan keputusan-keputusan penting yang berpotensi menguntungkan diri mereka. 

Sementara itu, kekuasaan yang tidak diimbangi dengan pengawasan yang ketat menciptakan ruang bagi penyalahgunaan kewenangan yang merugikan negara dan masyarakat. Kurangnya akuntabilitas atau pengawasan terhadap pengelolaan anggaran dan kebijakan membuat praktik korupsi berlangsung tanpa hambatan yang berarti.

Kasus-kasus korupsi yang mencuat di Indonesia, seperti proyek Hambalang, suap dalam perizinan tambang, dan korupsi dana bantuan sosial COVID-19, adalah contoh nyata bagaimana elemen-elemen yang dijelaskan oleh Klitgaard bekerja dalam praktek. 

Monopoli dalam pengelolaan proyek, kekuasaan yang tidak transparan, serta akuntabilitas yang lemah menyebabkan penyelewengan anggaran dan praktik suap terus terjadi di berbagai sektor pemerintahan dan pembangunan. 

Dampak dari korupsi ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menurunkan kualitas hidup masyarakat, menghancurkan kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan, dan merusak tatanan sosial serta ekonomi.

Untuk menanggulangi korupsi, pendekatan yang digunakan oleh Robert Klitgaard sangat relevan, yaitu dengan membatasi monopoli kekuasaan, memperkuat akuntabilitas, dan meningkatkan transparansi dalam semua sektor pemerintahan. 

Pengawasan yang lebih ketat, penerapan sanksi yang lebih berat bagi pelaku korupsi, serta pemberdayaan masyarakat untuk turut mengawasi jalannya pemerintahan menjadi langkah penting dalam pemberantasan korupsi. 

Upaya ini harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan agar Indonesia dapat mengurangi tingkat korupsi yang masih tinggi dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara.

Daftar Pustaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun