Korupsi = Monopoli + Kewenangan Bertindak - PertanggungjawabanÂ
Robert Klitgaard, dalam bukunya yang berjudul Controlling Corruption (1988), menjelaskan teori korupsi dengan menggunakan persamaan sederhana yang menggabungkan tiga elemen utama: C = M + D - A, di mana C adalah tingkat korupsi, M adalah monopoli, D adalah diskresi, dan A adalah akuntabilitas.Â
Teori ini memberikan gambaran yang jelas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi, serta bagaimana ketiga faktor tersebut dapat saling berinteraksi untuk menciptakan kondisi yang rentan terhadap korupsi.
Monopoli (M): Monopoli terjadi ketika satu pihak atau institusi memiliki kendali eksklusif atas akses ke sumber daya atau proses tertentu. Contohnya adalah monopoli dalam pengadaan barang dan jasa, distribusi perizinan, atau alokasi anggaran. Ketika akses ke sumber daya atau proses tersebut hanya berada di tangan segelintir orang, mereka dapat memanfaatkan posisi tersebut untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Monopoli mengurangi persaingan dan meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan. Dalam sistem yang monopolistik, orang yang membutuhkan layanan atau akses harus tunduk pada aturan pihak yang berkuasa, yang sering kali membuka peluang bagi praktik-praktik korupsi seperti suap atau gratifikasi.
Diskresi (D): Kewenangan bertindak atau diskresi merujuk pada kebebasan pejabat publik untuk membuat keputusan tanpa batasan yang jelas atau pengawasan yang memadai. Misalnya, pejabat yang memiliki wewenang penuh untuk memberikan izin usaha, menentukan pemenang tender, atau memutuskan alokasi dana sering kali memiliki peluang besar untuk menyalahgunakan kewenangan tersebut. Diskresi yang tidak diatur memungkinkan pejabat untuk bertindak berdasarkan kepentingan pribadi atau tekanan pihak lain, sehingga membuka peluang bagi terjadinya korupsi. Situasi ini diperburuk jika tidak ada mekanisme transparansi yang mewajibkan pejabat untuk menjelaskan keputusan yang mereka ambil.
Akuntabilitas (A): Pertanggungjawaban atau akuntabilitas adalah elemen yang berfungsi sebagai kontrol atas tindakan pejabat publik. Akuntabilitas mencakup pengawasan oleh masyarakat, lembaga pengawas, atau sistem internal di pemerintahan. Ketika pejabat tidak diwajibkan untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka, mereka cenderung merasa bebas untuk bertindak tanpa memperhatikan dampak atau konsekuensinya. Kurangnya akuntabilitas sering kali disebabkan oleh lemahnya sistem pengawasan, tidak transparannya proses pemerintahan, dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam mengawasi pejabat publik.
Pendekatan Klitgaard tidak hanya membantu dalam mengidentifikasi penyebab korupsi, tetapi juga memberikan panduan tentang bagaimana mengatasi masalah tersebut. Fokusnya adalah pada perbaikan sistem, bukan hanya menghukum individu yang melakukan korupsi.Â
Pendekatan ini menekankan bahwa solusi korupsi memerlukan reformasi struktural yang melibatkan pengurangan monopoli, pembatasan kewenangan bertindak, dan penguatan mekanisme akuntabilitas.Â
Model ini memberikan kerangka kerja yang mudah dipahami namun sangat relevan dalam menganalisis korupsi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dengan menggunakan formula ini, pemerintah dapat mengidentifikasi area rawan korupsi dan merancang kebijakan yang lebih terarah untuk mencegahnya.Â
Pendekatan Klitgaard juga menyoroti pentingnya partisipasi masyarakat dan lembaga non-pemerintah dalam mengawasi kinerja pemerintah, sehingga korupsi dapat dicegah sejak awal.