Mohon tunggu...
Nur Patimah
Nur Patimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1

NIM: 43221120052 | Program Studi: Sarjana Akuntansi | Fakultas: Ekonomi dan Bisnis | Jurusan: Akuntansi | Universitas: Universitas Mercu Buana | Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Ranggawarista Tiga Era, Kalasuba, Katatidha, Kalabendhu, dan Fenomena Korupsi di Indonesia

26 Oktober 2024   00:58 Diperbarui: 26 Oktober 2024   00:59 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Korupsi bukanlah fenomena yang tiba-tiba muncul, melainkan hasil dari akumulasi tindakan dan kebijakan di masa lalu. Budaya korupsi yang telah mengakar di Indonesia adalah akibat dari praktik-praktik koruptif yang terus berulang selama bertahun-tahun. Konsekuensi dari Tindakan: Setiap tindakan korupsi akan memiliki konsekuensi jangka panjang, baik bagi individu maupun masyarakat. Korupsi dapat merusak kepercayaan masyarakat, menghambat pembangunan, dan memperlemah negara. Pentingnya Evaluasi Diri: Para pemimpin dan masyarakat perlu melakukan evaluasi diri secara terus-menerus untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu dan mencegah terulangnya tindakan koruptif.

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Serat Kalatidha merupakan karya sastra Jawa klasik yang berisi kritik sosial terhadap kondisi masyarakat pada zamannya. Kutipan yang disajikan dalam gambar ini adalah bagian dari sebuah tembang Sinom yang menggambarkan kondisi masyarakat pada zaman yang dianggap kacau atau "edan". 

Kutipan tersebut secara garis besar menggambarkan kondisi masyarakat yang berada dalam situasi sulit dan penuh tantangan. Masyarakat pada zaman itu digambarkan hidup dalam keadaan yang serba sulit dan penuh tekanan. Mereka dihadapkan pada pilihan yang sulit: mengikuti arus atau mempertahankan prinsip.

  • Amenangi jaman edan: Artinya "mengalami zaman yang gila". Ini menggambarkan kondisi sosial yang kacau dan penuh ketidakpastian.
  • Ewuh aya ing pambudi: Artinya "sulit untuk mengambil keputusan". Ini menunjukkan bahwa individu dihadapkan pada dilema moral dalam menghadapi situasi yang sulit.
  • Milu edan nora tahan, Yen tan miluanglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun: Artinya "ikut gila tidak tahan, kalau tidak ikut melakukan, tidak kebagian pendapatan, kelaparan akhirnya". Kalimat ini menggambarkan tekanan sosial yang memaksa individu untuk ikut serta dalam tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral demi kepentingan survival.
  • Ndilalah karsa Allah, Begjabegjanekang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada: Artinya "namun sudah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lupa diri, masih lebih bahagia yang ingat dan waspada". Kalimat ini menyiratkan bahwa meskipun kondisi sosial sulit, namun tetap ada pilihan untuk tetap berpegang pada nilai-nilai luhur. Orang yang sadar dan waspada akan lebih bahagia dalam jangka panjang meskipun harus menghadapi kesulitan.   

Sama seperti pada zaman Ranggawarsita, masyarakat Indonesia saat ini juga dihadapkan pada tekanan sosial yang kuat untuk ikut serta dalam praktik-praktik korupsi. Mereka seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: mengikuti arus korupsi untuk mendapatkan keuntungan atau tetap berpegang pada prinsip dan berpotensi merugikan diri sendiri. Kutipan "Milu edan nora tahan, kalau tidak ikut melakukan, tidak kebagian pendapatan, kelaparan akhirnya" menggambarkan bagaimana korupsi bisa menjadi semacam kebiasaan atau norma sosial yang sulit diubah. Ketika banyak orang melakukan korupsi, maka orang yang tidak ikut serta akan merasa terisolasi atau dirugikan. Pesan tentang pentingnya "eling lan waspada" (sadar dan waspada) sangat relevan dalam konteks pemberantasan korupsi. Masyarakat perlu sadar akan bahaya korupsi dan waspada terhadap godaan untuk terlibat dalam praktik-praktik koruptif. Kutipan ini juga menyiratkan pentingnya kepemimpinan yang kuat dan berintegritas untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya nilai-nilai kejujuran dan keadilan.

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Kutipan ini berupa tembang Sinom yang berisi kritik sosial terhadap kondisi masyarakat pada zamannya. 

Kutipan ini secara garis besar menggambarkan kondisi masyarakat yang hidup dalam situasi sulit dan penuh tantangan. Masyarakat pada zaman itu digambarkan hidup dalam keadaan yang serba sulit dan penuh tekanan. Mereka dihadapkan pada pilihan yang sulit: mengikuti arus atau mempertahankan prinsip.

  • Amenangi jaman edan: Artinya "mengalami zaman yang gila". Ini menggambarkan kondisi sosial yang kacau dan penuh ketidakpastian.
  • Ewuh aya ing pambudi: Artinya "sulit untuk mengambil keputusan". Ini menunjukkan bahwa individu dihadapkan pada dilema moral dalam menghadapi situasi yang sulit.
  • Milu edan nora tahan, Yen tan miluanglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun: Artinya "ikut gila tidak tahan, kalau tidak ikut melakukan, tidak kebagian pendapatan, kelaparan akhirnya". Kalimat ini menggambarkan tekanan sosial yang memaksa individu untuk ikut serta dalam tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral demi kepentingan survival.

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun