Konsep Zaman Kalatidha, Kalabendhu, dan Kalasuba yang diwariskan oleh para leluhur Nusantara, merupakan sebuah metafora mendalam tentang siklus sejarah manusia. Ketiga zaman ini menggambarkan evolusi kesadaran kolektif manusia, dari egoisme individual menuju kesadaran akan nilai-nilai universal dan kebersamaan.
Zaman Kalatidha, atau sering disebut sebagai zaman ego, adalah masa di mana kepentingan individu diutamakan di atas segalanya. Batasan antara benar dan salah, adil dan tidak adil menjadi kabur. Setiap orang mengejar kepentingannya masing-masing tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain atau lingkungan. Dalam konteks modern, kita dapat melihat refleksi zaman Kalatidha dalam fenomena individualisme yang ekstrem, hedonisme, dan persaingan yang tidak sehat.
Kalabendhu, sebagai kelanjutan dari Kalatidha, adalah masa di mana kondisi tampak stabil namun dibangun di atas pondasi yang rapuh. Masyarakat terjebak dalam rutinitas dan norma-norma yang sudah dianggap benar, tanpa mempertanyakan lagi kebenaran di baliknya. Orang yang berbeda atau memiliki pandangan kritis seringkali dianggap aneh atau bahkan musuh. Inilah yang sering kita sebut sebagai "zona nyaman" atau "kebiasaan yang sulit diubah".
Namun, di dalam kegelapan Kalabendhu, terdapat benih-benih pencerahan. Seiring berjalannya waktu, akan muncul individu-individu yang sadar akan ketidakadilan dan ketidakbenaran yang terjadi di sekitarnya. Mereka akan menjadi suara kritis yang mengajak masyarakat untuk kembali pada nilai-nilai luhur dan kebenaran sejati. Inilah yang kemudian memicu peralihan menuju zaman Kalasuba.
Zaman Kalasuba adalah masa keemasan di mana masyarakat hidup dalam harmoni, keadilan, dan kesejahteraan. Kesadaran kolektif telah mencapai tingkat yang tinggi, sehingga setiap individu mampu hidup berdampingan secara damai dan saling menghormati. Dalam zaman ini, muncul sosok yang disebut Ratu Adil, yaitu pemimpin yang bijaksana dan adil yang mampu membimbing masyarakat menuju masa depan yang cerah.
Konsep Ratu Adil tidak hanya merujuk pada seorang individu, tetapi juga melambangkan kesadaran kolektif yang tinggi. Ratu Adil adalah representasi dari nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang ada dalam diri setiap manusia. Ketika kita mampu mengaktifkan kesadaran ini, kita akan mampu mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi dan menciptakan dunia yang lebih baik.
Implikasi bagi Kehidupan Modern
Konsep Zaman Kalatidha, Kalabendhu, dan Kalasuba memiliki relevansi yang sangat tinggi dengan kondisi dunia saat ini. Kita hidup dalam era yang penuh dengan ketidakpastian, ketidakadilan, dan krisis. Namun, di tengah segala kompleksitas ini, kita juga melihat munculnya gerakan-gerakan sosial yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan keberlanjutan. Era-era ini juga terkait dengan fenomena korupsi di Indonesia, di mana era kehancuran (Kalabendhu) dapat dihubungkan dengan kondisi saat ini yang ditandai oleh korupsi dan kerusakan moral. Gambar ini diambil dari modul kuliah Apollo yang disusun oleh seorang profesor, menjadikan fenomena korupsi sebagai konteks utama dalam penjelasan zaman-zaman ini.Â
Konsep Era Kalasuba, Kalatidha, dan Kalabendhu mencerminkan perubahan sosial dalam masyarakat. Era Kalasuba adalah masa keemasan, di mana keadilan dan kemakmuran mendominasi, terkait dengan harapan kedatangan Ratu Adil yang akan membawa kesejahteraan. Sementara itu, Era Kalatidha menggambarkan kemerosotan moral dengan egoisme, di mana orang-orang lebih mementingkan diri sendiri, mengabaikan kebaikan, dan mencerminkan keadaan feodal yang korup.
Sigmund Freud memberikan perspektif psikologi pada fenomena ini melalui konsep Id, Ego, dan Superego. Freud menjelaskan bahwa manusia selalu berada dalam tarik ulur antara keinginan dasar (Id), akal sehat (Ego), dan nilai moral (Superego). Kondisi Kalatidha dapat dihubungkan dengan dominasi Id, di mana egoisme merajalela, dan moralitas (Superego) terabaikan. Sedangkan Kalabendhu, yang menandakan kehancuran moral total, adalah hasil dari kekacauan yang berkelanjutan.Â
Angka 2:1 yang tercantum menyiratkan bahwa keburukan mendominasi kebaikan dalam fase ini. Hal ini menandakan bahwa korupsi dan kejahatan lebih banyak terjadi dibandingkan perilaku baik, mencerminkan era Kalabendhu yang penuh dengan "Zaman Edan" atau kebalikannya tatanan normal. Â
Tragedi Ajisaka, yang diwakili dalam kisah Hanacaraka, menggambarkan bagaimana kesetiaan bisa berujung pada kehancuran. Dora dan Sembada, yang diperintahkan menjaga pusaka, berakhir tewas karena salah paham. Kisah ini melambangkan bagaimana kepercayaan yang disalahartikan atau dikorbankan demi kepentingan pribadi, yang relevan dengan tema ketidakstabilan sosial dan moral pada era Kalatidha dan Kalabendhu. Tragedi ini menjadi pelajaran tentang pentingnya kehati-hatian dalam menjaga nilai-nilai luhur agar tidak terjadi kehancuran moral dan sosial.
Kepemimpinan dan Evaluasi Diri menurut konsep Tri Wikrama yang diperkenalkan oleh Ranggawarsita, salah satu filsuf besar dari Jawa. Konsep ini merujuk pada tiga elemen penting dalam perjalanan kehidupan manusia: Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan, yang terhubung dengan hukum sebab-akibat atau Karma. Esai ini akan mengulas setiap aspek berdasarkan gambar yang ditampilkan dan relevansi pemikirannya terhadap kepemimpinan serta filosofi waktu.Â
Tiga lingkaran yang merepresentasikan masa lalu, sekarang, dan masa depan menggambarkan sebuah kesinambungan historis. Tindakan di masa lalu membentuk kondisi di masa sekarang, dan keputusan yang diambil saat ini akan membentuk masa depan. Konsep karma yang dihubungkan dengan sebab akibat ini menyiratkan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, baik itu positif maupun negatif.
Penggunaan nama Triwikrama Ranggawarsita, seorang pujangga Jawa yang terkenal, memberikan dimensi budaya pada model ini. Karya-karya Ranggawarsita sarat akan nilai-nilai kepemimpinan yang luhur, seperti kejujuran, integritas, dan kebijaksanaan. Dengan demikian, model ini tidak hanya sekadar diagram, tetapi juga membawa pesan moral yang mendalam.
Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan
Dalam pandangan Ranggawarsita, kehidupan manusia selalu terkait dengan tiga dimensi waktu ini. Masa Lalu menggambarkan segala tindakan, pengalaman, dan pembelajaran yang telah terjadi. Dalam konteks kepemimpinan, masa lalu memberi pelajaran berharga yang harus diambil sebagai dasar untuk perbaikan diri. Setiap pemimpin yang bijaksana tidak boleh melupakan akar sejarahnya, sebab masa lalu membentuk dasar untuk memahami tantangan masa kini.
Masa Kini adalah waktu di mana segala keputusan penting diambil. Tindakan yang dilakukan saat ini merupakan hasil dari pembelajaran dari masa lalu dan akan membentuk apa yang terjadi di masa depan. Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan, keberanian, dan kebijaksanaan dalam menghadapi masalah yang ada. Kekuatan diperlukan untuk memimpin dengan tegas, keberanian dibutuhkan untuk mengambil keputusan sulit, dan kebijaksanaan diperlukan untuk melihat jauh ke depan, memperhitungkan akibat dari setiap tindakan.
Masa Depan adalah hasil dari tindakan masa kini. Ranggawarsita mengajarkan bahwa masa depan ditentukan oleh hukum sebab-akibat (Karma). Dalam konsep ini, setiap tindakan yang dilakukan di masa lalu dan masa kini akan memiliki dampak yang dirasakan di masa depan. Prinsip ini selaras dengan tanggung jawab moral dan etika, di mana pemimpin harus menyadari bahwa apa yang ia lakukan sekarang akan menentukan hasil di masa mendatang.Â
Korupsi bukanlah fenomena yang tiba-tiba muncul, melainkan hasil dari akumulasi tindakan dan kebijakan di masa lalu. Budaya korupsi yang telah mengakar di Indonesia adalah akibat dari praktik-praktik koruptif yang terus berulang selama bertahun-tahun. Konsekuensi dari Tindakan: Setiap tindakan korupsi akan memiliki konsekuensi jangka panjang, baik bagi individu maupun masyarakat. Korupsi dapat merusak kepercayaan masyarakat, menghambat pembangunan, dan memperlemah negara. Pentingnya Evaluasi Diri: Para pemimpin dan masyarakat perlu melakukan evaluasi diri secara terus-menerus untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu dan mencegah terulangnya tindakan koruptif.
Serat Kalatidha merupakan karya sastra Jawa klasik yang berisi kritik sosial terhadap kondisi masyarakat pada zamannya. Kutipan yang disajikan dalam gambar ini adalah bagian dari sebuah tembang Sinom yang menggambarkan kondisi masyarakat pada zaman yang dianggap kacau atau "edan".Â
Kutipan tersebut secara garis besar menggambarkan kondisi masyarakat yang berada dalam situasi sulit dan penuh tantangan. Masyarakat pada zaman itu digambarkan hidup dalam keadaan yang serba sulit dan penuh tekanan. Mereka dihadapkan pada pilihan yang sulit: mengikuti arus atau mempertahankan prinsip.
- Amenangi jaman edan: Artinya "mengalami zaman yang gila". Ini menggambarkan kondisi sosial yang kacau dan penuh ketidakpastian.
- Ewuh aya ing pambudi: Artinya "sulit untuk mengambil keputusan". Ini menunjukkan bahwa individu dihadapkan pada dilema moral dalam menghadapi situasi yang sulit.
- Milu edan nora tahan, Yen tan miluanglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun: Artinya "ikut gila tidak tahan, kalau tidak ikut melakukan, tidak kebagian pendapatan, kelaparan akhirnya". Kalimat ini menggambarkan tekanan sosial yang memaksa individu untuk ikut serta dalam tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral demi kepentingan survival.
- Ndilalah karsa Allah, Begjabegjanekang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada: Artinya "namun sudah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lupa diri, masih lebih bahagia yang ingat dan waspada". Kalimat ini menyiratkan bahwa meskipun kondisi sosial sulit, namun tetap ada pilihan untuk tetap berpegang pada nilai-nilai luhur. Orang yang sadar dan waspada akan lebih bahagia dalam jangka panjang meskipun harus menghadapi kesulitan. Â Â
Sama seperti pada zaman Ranggawarsita, masyarakat Indonesia saat ini juga dihadapkan pada tekanan sosial yang kuat untuk ikut serta dalam praktik-praktik korupsi. Mereka seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: mengikuti arus korupsi untuk mendapatkan keuntungan atau tetap berpegang pada prinsip dan berpotensi merugikan diri sendiri. Kutipan "Milu edan nora tahan, kalau tidak ikut melakukan, tidak kebagian pendapatan, kelaparan akhirnya" menggambarkan bagaimana korupsi bisa menjadi semacam kebiasaan atau norma sosial yang sulit diubah. Ketika banyak orang melakukan korupsi, maka orang yang tidak ikut serta akan merasa terisolasi atau dirugikan. Pesan tentang pentingnya "eling lan waspada" (sadar dan waspada) sangat relevan dalam konteks pemberantasan korupsi. Masyarakat perlu sadar akan bahaya korupsi dan waspada terhadap godaan untuk terlibat dalam praktik-praktik koruptif. Kutipan ini juga menyiratkan pentingnya kepemimpinan yang kuat dan berintegritas untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya nilai-nilai kejujuran dan keadilan.
Kutipan ini berupa tembang Sinom yang berisi kritik sosial terhadap kondisi masyarakat pada zamannya.Â
Kutipan ini secara garis besar menggambarkan kondisi masyarakat yang hidup dalam situasi sulit dan penuh tantangan. Masyarakat pada zaman itu digambarkan hidup dalam keadaan yang serba sulit dan penuh tekanan. Mereka dihadapkan pada pilihan yang sulit: mengikuti arus atau mempertahankan prinsip.
- Amenangi jaman edan: Artinya "mengalami zaman yang gila". Ini menggambarkan kondisi sosial yang kacau dan penuh ketidakpastian.
- Ewuh aya ing pambudi: Artinya "sulit untuk mengambil keputusan". Ini menunjukkan bahwa individu dihadapkan pada dilema moral dalam menghadapi situasi yang sulit.
- Milu edan nora tahan, Yen tan miluanglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun: Artinya "ikut gila tidak tahan, kalau tidak ikut melakukan, tidak kebagian pendapatan, kelaparan akhirnya". Kalimat ini menggambarkan tekanan sosial yang memaksa individu untuk ikut serta dalam tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral demi kepentingan survival.
kutipan dari Serat Centhini yang membahas tentang konsep "Zaman Kalabendu" atau "Zaman Edan" yang diprediksi oleh Ranggawarsita.
Analisis Kutipan:
- Zaman Kalabendu: Â Istilah ini merujuk pada suatu periode waktu yang diprediksi akan penuh dengan kekacauan, kerusakan moral, dan kehancuran. Dalam kutipan ini, Zaman Kalabendu digambarkan sebagai akhir dari suatu siklus, di mana raja (atau pemimpin) akan binasa akibat pertentangan dengan kekuatan lain.
- Ciri-ciri Zaman Kalabendu: Kutipan tersebut menggambarkan ciri-ciri Zaman Kalabendu, yaitu:
- Waktu yang sudah dekat dengan akhir: Artinya, Zaman Kalabendu dianggap sebagai akhir dari suatu era atau siklus.
- Kerusakan moral: Terjadi perselisihan dan pertentangan yang menyebabkan kehancuran.
- Kehancuran kepemimpinan: Raja atau pemimpin akan binasa.
- Harapan akan masa depan: Meskipun kondisi sedang buruk, kutipan ini juga menyiratkan harapan akan masa depan yang lebih baik. Ki Sali, dalam kutipan tersebut, mengatakan bahwa setelah Zaman Kalabendu, akan ada zaman baru yang lebih baik.
Zaman Kalabendhu digambarkan sebagai zaman di mana moralitas merosot dan terjadi banyak kegaduhan. Hal ini serupa dengan kondisi saat ini, di mana korupsi seringkali dikaitkan dengan hilangnya nilai-nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab. Dalam Serat Centhini, Zaman Kalabendhu ditandai dengan kehancuran kepemimpinan. Hal ini dapat dikaitkan dengan kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik, di mana mereka menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Konsep Zaman Kalabendhu menyiratkan adanya siklus sejarah di mana suatu peradaban akan mengalami pasang surut. Fenomena korupsi yang terjadi secara berulang di Indonesia seolah-olah mengkonfirmasi adanya siklus ini. Meskipun menggambarkan masa depan yang suram, Serat Centhini juga menyiratkan harapan akan adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan semangat untuk terus berjuang memberantas korupsi dan membangun masyarakat yang lebih baik.Â
Penyebab Korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonesia merupakan fenomena yang sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait. Salah satu penyebab utama adalah budaya korupsi yang telah mengakar dalam masyarakat. Toleransi terhadap praktik korupsi sering kali dianggap sebagai hal yang biasa, bahkan menjadi bagian dari cara hidup yang dipraktikkan oleh sebagian orang. Dalam konteks ini, banyak individu yang berpandangan bahwa melakukan praktik korupsi adalah suatu keharusan untuk mencapai tujuan tertentu, baik itu dalam urusan bisnis maupun dalam administrasi pemerintahan. Budaya ini menciptakan lingkungan yang memungkinkan korupsi berkembang dengan subur, sehingga sulit untuk memberantasnya.
Selain itu, kelemahan institusi juga menjadi faktor penting dalam fenomena korupsi. Lembaga penegak hukum di Indonesia, seperti kepolisian dan kejaksaan, sering kali tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menangani kasus korupsi secara efektif. Banyaknya kasus korupsi yang tidak ditindaklanjuti atau penegakan hukum yang tidak konsisten membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi tersebut. Hal ini diperparah dengan adanya pengaruh politik dan kepentingan pribadi yang sering kali mengintervensi proses hukum, sehingga menciptakan kesan bahwa pelaku korupsi dapat meloloskan diri dari jeratan hukum.
Ketidakpastian hukum juga menjadi penyebab lain dari maraknya praktik korupsi. Banyak regulasi yang tidak jelas atau tumpang tindih, membuat individu atau perusahaan merasa bebas untuk melakukan tindakan korupsi. Ketidakjelasan dalam penegakan hukum memberikan celah bagi mereka yang ingin melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam banyak kasus, kekurangan transparansi dalam proses administrasi dan pengelolaan anggaran juga mempermudah tindakan korupsi, karena sulit bagi masyarakat untuk mengawasi dan mengevaluasi keputusan yang diambil oleh pejabat publik.
Terakhir, kurangnya pendidikan anti-korupsi di kalangan masyarakat berkontribusi terhadap berkembangnya korupsi. Pendidikan yang minim mengenai dampak negatif dari korupsi dan pentingnya transparansi membuat masyarakat tidak sepenuhnya memahami konsekuensi dari tindakan tersebut. Tanpa pemahaman yang kuat tentang etika dan integritas, sulit bagi masyarakat untuk menolak atau melawan praktik korupsi yang terjadi di sekitar mereka. Oleh karena itu, peningkatan pendidikan dan kesadaran mengenai isu ini sangat penting untuk menciptakan budaya yang menolak korupsi dan mendorong akuntabilitas.
Secara keseluruhan, fenomena korupsi di Indonesia adalah hasil dari interaksi antara budaya, kelemahan institusi, ketidakpastian hukum, dan rendahnya pendidikan anti-korupsi. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang komprehensif dan melibatkan seluruh elemen masyarakat, agar korupsi dapat diminimalisir dan keadilan sosial dapat terwujud.
Langkah-Langkah Mengatasi Korupsi di Indonesia
Pendidikan Anti-Korupsi:
- Tanamkan nilai-nilai integritas dan etika sejak dini dalam kurikulum pendidikan.
- Ajarkan dampak buruk dari korupsi kepada generasi muda agar mereka memahami pentingnya transparansi.
Penguatan Institusi Penegak Hukum:
- Berdayakan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan dengan sumber daya yang memadai.
- Lakukan rekrutmen secara transparan untuk memastikan hanya individu berintegritas yang menduduki posisi strategis.
- Terapkan penegakan hukum yang tegas dan konsisten serta perlindungan bagi whistleblower.
Reformasi Regulasi:
- Evaluasi dan revisi undang-undang serta regulasi yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa serta pengelolaan anggaran.
- Terapkan sistem transparansi, seperti e-budgeting dan e-procurement, untuk mempermudah pengawasan masyarakat terhadap penggunaan anggaran publik.
Partisipasi Masyarakat:
- Libatkan masyarakat dalam proses pengawasan dan pengambilan keputusan terkait kebijakan publik.
- Adakan forum diskusi dan kampanye anti-korupsi untuk meningkatkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat.
- Dorong masyarakat untuk melaporkan tindakan korupsi yang mereka saksikan, menciptakan budaya ketidakpastian bagi pelaku korupsi.
Pengawasan dan Akuntabilitas:
- Bentuk lembaga independen untuk melakukan pengawasan terhadap penggunaan anggaran dan kebijakan publik.
- Terapkan mekanisme akuntabilitas yang jelas bagi pejabat publik untuk memastikan mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Kalimana. (2016). Inilah jaman edan: Menyelisik serat kalatidha Ranggawarsita. Kompasiana.Â
 Khusenal Marie, B. (2017). Kajian Kalatidha: 7 luwih begja kang eling waspada. Bambang Khusenal Marie.Â
Nursalim, M. (2021). Penyebab dan cara mengatasi budaya korupsi. STEKOM.Â
Azzahra, L. (2022). Cakra Manggilingan dan Wolak-Walike Zaman Kalatidha, Kalabendu, Kalasuba. Lampung NU.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI