Pendahuluan
Pandemi Covid-19 membuat nilai dan norma sosial yang ada di masyarakat berubah 180 derajat. Masyarakat Indonesia yang gemar berbudaya kolektif dihadapkan pada kondisi keterbatasan sosial. Tidak hanya itu, proses digitalisasi juga berlangsung sangat masif selama dua tahun pandemi melanda. Namun ketika pandemi sedikit mereda, masyarakat dibingungkan atas identitas dirinya. Mereka tidak bisa kembali pada cara hidup yang lama, yakni sebelum adanya pandemi. Satu-satunya cara adalah berdamai dengan keadaan dan membangun tatanan sosial baru yang sesuai dengan perkembangan teknologi. Maka dari itu, konstruksi sosial perlu dibangun kembali dengan menyesuaikan keadaan pasca pandemi Covid-19. Salah sayu upaya rekonstruksi nilai dan norma serta pemecahan masalah tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan.
Pada hakekatnya, pendidikan adalah sebuah usaha untuk melakukan produksi dan reproduksi pengetahuan. Sebagai sebuah sarana transmisi pengetahuan, perencanaan pendidikan dilakukan secara teknis dan sistematis melalui aturan formal yang disebut kurikulum. Oleh sebab itu, kurikulum haruslah berkaca pada kebutuhan dan tantangan zaman. Lewat kurikulum yang sifatnya lebih fleksibel, yaitu hidden curriculum, para aktor pendidikan dapat menyesuaikan isi pengajaran dengan nilai dan norma yang berkembang sesuai dengan kearifan lokal. Namun dibalik itu, hidden curriculum disebut juga sebagai pisau bermata dua. Kurikulum tersembunyi tersebut juga dapat menjadi senjata bagi para kelompok dominan untuk menyusupkan ideologi dan kepentingan mereka lewat pendidikan.
Melalui narasi ini, penulis mencoba menganalisis fungsi hidden curriculum sebagai alat untuk merekonstruksi kehidupan sosial masyarakat pasca diberlakukannya pembiasaan new normal akibat pandemi Covid-19. Selanjutnya, penulis mencoba menjawab pertanyaan seputar bagaimana hidden curriculum menjadi alat yang digunakan para kelompok dominan untuk mempertahankan status quo melalui pendidikan formal, non formal, dan informal. Dengan menggunakan pendekatan critical curriculum studies, diharapkan ada gambaran yang komperehensif untuk mengkaji persoalan pendidikan di masyarakat saat ini.
Rekonstruksi Sosial Masyarakat Era New Normal
Kurikulum memiliki hubungan erat dengan upaya konstruksi masyarakat. Studi kurikulum dalam ranah pendidikan memiliki relasi dengan institusi ekonomi, politik, sosial, budaya dan bahkan ideologi. Lebih lanjut, studi tentang kurikulum menjadi semakin menarik ketika pembahasannya tidak sekadar teknis, melainkan juga mengkaji nilai-nilai masyarakat yang heterogen. Lewat kurikulum, pendidikan berperan untuk mentransmisikan nilai-nilai budaya, mengatur cara berperilaku, hingga menentukan cara berpikir hingga memecahkan masalah (Sari, Dian Rinanta, & Achmad Siswanto, 2021).
Pasca pandemi Covid-19 yang melanda, kemapanan sosial masyarakat yang chaos perlu dibangun kembali melalui upaya rekonstruksi. Berbagai aspek kehidupan yang telah mengalami digitalisasi selama pandemi membuat nilai dan norma masyarakat berubah. Gaya hidup masyarakat yang sederhana, minimalisir kesenjangan melalui sosio-ekonomi yang berkeadilan, apresiasi terhadap lokalitas, serta sistem kerja kolaboratif seharusnya menjadi kesepakatan untuk membangun sinergitas dan menghindari krisis di masyarakat.
Philip W. Jackson memperkenalkan istilah hidden curriculum untuk pertama kalinya dalam buku bertajuk "Life in Classrooms" (1968). Disebutkan bahwa hidden curriculum sebagai aturan yang tidak tertulis mengenai nilai-nilai sosial dan perilaku yang dicita-citakan. Sementara itu, menurut Michael W. Apple (1982), hidden curriculum mencakup berbagai kepentingan, bentuk budaya, perjuangan, kesepakatan, dan kompromi yang terdapat di sekolah. (Hidayat, 2011)  Â
Sebagai kurikulum yang tidak kaku, hidden curriculum dapat disesuaikan dengan perubahan sosial yang berlangsung cepat hingga upaya pemecahan masalah. Apabila kurikulum formal membutuhkan waktu lama untuk dirumuskan, lain hal dengan hidden curriculum. Kurikulum tersembunyi ini tidak hanya berada pada lembaga sekolah, kehadirannya bahkan ada di tengah masyarakat. Tidak terbatas hanya pada pendidikan formal, tetapi juga ada dalam lembaga pendidikan non formal maupun informal. Â Â
Upaya membangun rekonstruksi sosial di masyarakat menjadi lebih mudah dengan kurikulum tersembunyi. Hal ini sejalan dengan fungsi hidden curriculum yaitu memberikan pemahaman mendalam tentang kepribadian, norma, nilai, keyakin yang tidak dijelaskan secara menyeluruh dalam kurikulum formal.
Relasi Kuasa Dan Pengetahuan Dalam Hidden Curriculum
Konstruksi ideologi dapat ditransformasikan melalui kurikulum oleh aktor yang dominan. Mereka yang memiliki kekuasaan akan dengan mudah mewariskan dan mempertahankan wajah ideologi mereka antargenerasi. Kurikulum dalam pandangan kelompok dominan dipandang sebagai soft mechanism yang paling ampuh dan strategis. (Hidayat, 2011)
1. Pendidikan Formal
Pada pelaksanaannya, sering tidak disadari bahwa guru sebagai aktor utama dalam mekanisme dan kontrol sosial dari perilaku muridnya. Guru juga lah  yang memberikan berbagai contoh panutan, teladan dan pengalaman yang ditransmisikan kepada murid. Guru dan sekolah memiliki kuasa. Melalui pendidikan formal, hidden curriculum yang disampaikan guru secara tidak langsung melahirkan murid-murid yang terbiasa dalam sistem kerja persaingan (kompetitif). Sistem tersebut diadopsi dari budaya kapitalis yang menjadi kelompok dominan dalam ideologi sekolah.
2. Pendidikan Non Formal
Pada pendidikan non formal seperti lembaga kursus hingga bimbingan belajar online, hidden curriculum menjadi senjata untuk menarik perhatian para murid. Komersialisasi pendidikan yang dilakukan lembaga PNF marak saat ini seolah menyiapkan murid menjadi tenaga kerja yang terampil di bawah kuasa kapitalis. Hidden curriculum yang disampaikan berusaha mengemas pelayanan jasa dan pelatihan dalam mekanisme berbayar. Sebab keterampilan menjadi kunci utama untuk bersaing di pasar kerja. Â Â
3. Pendidikan Informal
Keluarga dan masyarakat merupakan aktor utama yang mentransmisikan nilai-nilai yang mereka yakini lewat pengajaran hidden curriculum kepada anak-anak. Isi pendidikan tersebut meliputi nilai beragama, nilai berbudi pekerti, nilai beretika, nilai sopan santun, nilai moral, serta sosialisasi. Yang menjadi kekhawatiran adalah tidak adanya kesepakatan baku dalam menentukan apa-apa saja yang layak menjadi pengajaran, sehingga hidden curriculum dalam pendidikan informal ini menjadi mudah untuk disusupi oleh ideologi kelompok dominan di masyarakat.
Penutup
      Mereka yang berkuasa sebagai kelompok dominan menciptakan kompromi agar bisa leluasa memberikan doktrin kepada kelompok yang tak berdaya dalam mekanisme kerja ideologinya. Artinya, hidden curriculum tidak lagi menjadi arena perjuangan kelas di masyarakat. Kurikulum tersembunyi kemudian dijadikan alat untuk mempertahankan status quo. Ketika pandemi Covid-19 melanda, para pemilik modal berusaha mempertahankan kekuasaan dan kekayaan mereka dengan memotong hak kelompok masyarakat yang tak berdaya. Lebih jauh, hidden curriculum yang diciptakan kelompok dominan kemudian membuat kelompok masyarakat proletar menjadi ketergantungan pada mereka.
      Untuk itu, diperlukan kesadaran bagi setiap individu dalam menerima nilai-nilai yang terkandung dalam pengajaran. Esensi dari hidden curriculum perlu direkonstruksi ulang agar fungsinya kembali berjalan sebagai arena perjuangan kelas dan kemandirian individu, sehingga jurang ketimpangan dan ketidaksetaraan dapat diminimalisir.
Sumber referensi:
Hidayat, Rakhmat. (2011). Pengantar Sosiologi Kurikulum. Jakarta: Rajawali Pers.
Sari, Dian Rinanta, & Achmad Siswanto. (2021). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Lab Pendidikan Sosiologi UNJ.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H