Mohon tunggu...
Nur Mutiani
Nur Mutiani Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pluralisme Agama dan Kerukunan Hidup Beragama

20 Juni 2024   20:11 Diperbarui: 20 Juni 2024   20:30 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS


PLURALISME AGAMA DAN KERUKUNAN HIDUP BERAGAMA
1Sofiani Umar,2 Nafira Anwar, 3Mardatillah
Prodi Ekonomi Syariah IAIN Parepare, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Institut Agama Islam Negri Parepare
Email: sofianiumar20@gmail.com

ABSTACT

 This article reviews the idea of religious pluralism and its relevance in creating peaceful religious life in society. Referring to the heterogeneous condition of Indonesian society (plural society), without a binding system, the potential for conflict both vertically and horizontally can arise. It should be noted that the concept of pluralism here must be interpreted in the context of pluralism in accordance with Indonesian characteristics, not in the context of colonial society. As stated by Nasikun, Indonesian society does have a unique plural nature. Indonesia's pluralism has made a positive contribution in enriching cultural diversity which is a matter of national pride within the frame of "Nation Nationalism". However, at the same time, pluralism is also a potential source of social conflict. Because this potential can lead to social disintegration, it is natural that pluralism becomes a complex challenge in national integration efforts in Indonesia.

 Keywords:
Religious Pluralism, Culture, Religious Harmony
ABSTACT
Artikel ini mengulas tentang gagasan pluralisme agama dan relevansinya dalam menciptakan kehidupan beragama yang damai dalam masyarakat. Dengan mengacu pada kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen (plural society), tanpa sebuah sistem yang mengikat, potensi konflik baik secara vertikal maupun horizontal dapat muncul. Perlu dicatat bahwa konsepsi pluralisme di sini harus diinterpretasikan dalam konteks pluralisme yang sesuai dengan karakteristik Indonesia, bukan dalam konteks masyarakat kolonial. Sebagaimana yang disampaikan oleh Nasikun, Masyarakat Indonesia memang memiliki sifat plural yang unik. Pluralisme yang dimiliki oleh Indonesia telah memberikan kontribusi positif dalam memperkaya ragam budaya yang menjadi kebanggaan nasional dalam bingkai "Nasionalisme Bangsa". Namun, pada saat yang sama, pluralisme juga menjadi sumber potensi konflik sosial. Karena potensi ini dapat mengarah pada disintegrasi sosial, maka wajar jika pluralisme menjadi tantangan yang kompleks dalam upaya integrasi nasional di Indonesia.

 Kata Kunci:
Pluralisme Agama, Budaya, Kerukunan Hidup Beragama

PENDAHULUAN
Kehidupan keagamaan di Indonesia, dengan keragaman suku, ras, agama, dan budayanya, menjadi lingkungan yang subur bagi pertumbuhan berbagai agama. Setidaknya, terdapat lima agama yang diakui secara resmi, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Lebih dari sekadar pertumbuhan agama, penting untuk dicatat bahwa keberadaan agama-agama ini telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kehidupan sosial dan budaya yang majemuk di Indonesia. Terjadi akulturasi antara agama-agama tersebut yang memperkaya tradisi masing-masing. Sebagai contoh, Islam yang masuk ke Indonesia tidak bertentangan dengan tradisi lokal yang telah ada dari agama Hindu dan Buddha. Namun, Islam lebih memilih untuk mengadaptasi dan membuat dirinya relevan bagi masyarakat setempat, menunjukkan prinsip-prinsip yang universal dan holistik yang tidak dapat diubah. Meskipun pluralisme agama pernah direalisasikan secara harmonis, namun terdapat juga konfrontasi yang menghasilkan jarak sosial antara pemeluk agama yang berbeda. Oleh karena itu, upaya untuk menciptakan kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia sangat penting dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi masa depan bangsa dan negara Republik Indonesia.

LITERATUR REVIEW

Pengertian Pluralisme
Pluralisme berasal dari istilah "pluralis", yang menggambarkan ide jamak atau lebih dari satu, sementara "pluralizing" menunjukkan keberadaan lebih dari satu atau dua elemen dengan dualisme. Pluralisme, dalam konteks masyarakat majemuk, merujuk pada pemahaman tentang keberagaman budaya dan sistem sosial-politik di dalam suatu masyarakat tunggal. Secara konseptual, pluralisme mewakili doktrin yang menekankan pembagian kekuasaan dan pemerintahan antara berbagai kelompok, menolak ide monopoli oleh satu kelompok tertentu. Dalam kamus filsafat, pluralisme memiliki sifat-sifat berikut: Pertama, realitas dasarnya bersifat plural, berbeda dengan pandangan dualisme yang menyatakan adanya dua realitas fundamental, dan monisme yang menyatakan bahwa hanya ada satu realitas fundamental. Kedua, ada banyak tingkatan hal di alam semesta yang terpisah dan tidak dapat disatukan, serta memiliki otonomi masing-masing. Ketiga, alam semesta pada dasarnya tidak terikat pada bentuk tertentu dan tidak memiliki kesatuan atau kontinuitas yang harmonis secara fundamental, tanpa adanya struktur kohesif dan rasional yang mendasarPluralisme agama adalah sebuah konsep yang memiliki makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dapat digunakan dalam berbagai cara yang berbeda pula.

Pluralisme Agama dan Kerukunan Hidup Beragama

Furnivall (Nasikun, 1995: 29) menggambarkan konsep masyarakat majemuk (plural society) dalam konteks Indonesia sebagai sebuah struktur sosial yang terdiri dari dua atau lebih kelompok yang hidup secara terpisah dalam suatu kerangka politik tanpa banyak interaksi satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa keberagaman masyarakat Indonesia bukan hanya fenomena yang muncul pada masa kolonial Hindia-Belanda yang lebih menonjol dalam aspek ekonomi dan politik, tetapi telah menjadi bagian integral sejak zaman dahulu, menampilkan karakteristik unik baik secara horizontal maupun vertikal. Nasikun menekankan bahwa struktur sosial Indonesia memiliki dua ciri unik. Secara horizontal, terdapat kesatuan sosial berdasarkan perbedaan etnis, agama, budaya, dan regional. Sedangkan secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia dibedakan oleh perbedaan yang tajam antara lapisan atas dan lapisan bawah. Keberagaman etnis, agama, budaya, dan regional sering kali dianggap sebagai ciri khas dari masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk.
Menurut Alwi Shihab (1997:41), pluralisme agama diartikan sebagai berikut: (1) Pluralisme bukan sekadar mencerminkan adanya keberagaman, melainkan melibatkan partisipasi aktif terhadap keberagaman tersebut. Dengan kata lain, pluralisme agama mengimplikasikan bahwa setiap individu yang beragama diharapkan tidak hanya mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam memahami perbedaan serta persamaan untuk menciptakan kerukunan dan keberagaman; (2) Pluralisme perlu dibedakan dari kosmopolitanisme, yang merujuk pada situasi di mana berbagai agama, ras, dan bangsa hidup bersama dalam suatu wilayah; (3) Konsep pluralisme tidak boleh disamakan dengan relativisme. Meskipun dalam pluralisme terdapat unsur relativisme, yaitu ketidakklaiman atas kepemilikan tunggal terhadap semua kebenaran, dan tidak adanya usaha memaksakan kebenaran tersebut pada pihak lain.
Mengenai pluralisme agama dalam kerangka Islam dan nilai-nilai universal agama-abrahamik serta agama-agama yang berasal dari budaya, dikemukakan bahwa "Addinnu widun wilatu mutaliatun", yang berarti bahwa meskipun agama itu satu, namun cara-cara pelaksanaannya dapat beragam. Keberadaan beragam agama di Indonesia, terutama dalam masyarakat Jawa, secara empiris menunjukkan bahwa pluralitas agama tidak selalu termanifestasi dalam perbedaan formal keagamaan, melainkan lebih menonjolkan ekspresi spiritual, sikap, dan prilaku sehari-hari yang terpadu dengan budaya lokal.
Pluralisme agama tetap merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keragaman masyarakat di Indonesia dan akan terus ada di masa yang akan datang. Karena itu, pluralisme bukan hanya merupakan proses tradisionalisasi tetapi juga merupakan bagian dari proses modernisasi (Jacobs, 1994:29). Seperti yang diungkapkan oleh Gertz (1965:105), masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari sub-sistem yang relatif otonom, di mana setiap sub-sistem terikat oleh ikatan-ikatan primordial. Meskipun beberapa pandangan dasar dari para ahli di atas telah memberikan gambaran tentang masyarakat plural, akan lebih lengkap jika kita merujuk pada pendapat Pierre Van Den Berghe (1967:67--68), yang menyatakan bahwa masyarakat plural memiliki beberapa karakteristik, antara lain: (1) Terjadi segmentasi dalam bentuk kelompok yang seringkali memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain; (2) Memiliki struktur sosial yang terfragmentasi ke dalam lembaga-lembaga yang tidak saling melengkapi; (3) Kurangnya konsensus di antara anggotanya mengenai nilai-nilai dasar; (4) Rentan terhadap konflik antarkelompok; (5) Integrasi sosial cenderung bergantung pada paksaan dan ketergantungan ekonomi; (6) Dominasi politik oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya.
Perlu ditegaskan bahwa dalam konteks ini, pluralisme harus diinterpretasikan dan dipahami sesuai dengan pandangan pluralisme yang relevan dengan Indonesia, bukan dalam kerangka dan konteks masyarakat kolonial. Seperti yang diungkapkan oleh Nasikun (1995:34), masyarakat Indonesia adalah sebuah entitas plural yang unik.
Pluralisme yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia telah memberikan kontribusi positif dalam memperkaya warisan budaya bangsa Indonesia yang menjadi kebanggaan nasional dalam kerangka "Nasionalisme Bangsa". Namun, sebagaimana yang sering diungkapkan oleh para ahli, pluralisme juga menjadi potensi sosial yang dapat meredam berbagai sumber konflik. Karena potensi sosial tersebut dapat mengarah pada disintegrasi, wajar jika pluralisme menjadi tantangan yang serius dalam upaya integrasi nasional di Indonesia (Kontjaraningrat, 1984:345--370).
Indonesia telah menjadi lingkungan yang subur bagi perkembangan berbagai agama. Setidaknya, ada lima agama yang diakui secara resmi, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Lebih dari sekadar membahas pertumbuhan agama-agama tersebut, yang lebih penting ditekankan di sini adalah peran penting agama-agama tersebut dalam membantu masyarakat majemuk di Indonesia. Mereka tidak hanya memberikan kontribusi dalam kehidupan sosial dan budaya, tetapi juga menampilkan keunikan tersendiri, yang menghasilkan akulturasi antara agama-agama yang kemudian memperkaya tradisi masing-masing. Sebagai contoh, agama Islam, ketika masuk ke Indonesia, tidak menghadapi konflik dengan tradisi lokal yang telah ada, yang dibawa oleh agama Hindu dan Buddha. Namun, seperti yang dikemukakan oleh Taufik Abdullah (1989:59), Islam justru melakukan peminjaman budaya karena kesatuan pemikiran antara tradisi adat dan konsepsi religius yang diinginkan tidak selalu dapat terwujud sepenuhnya. Prinsip-prinsip agama di dunia bersifat tidak dapat diubah, universal, dan holistik. Namun, Islam dihadapkan pada proses pempribumian di mana ia beradaptasi, mengaktualisasikan, dan menjadi relevan serta berarti bagi masyarakat setempat.
Dari uraian sejarah yang telah disajikan di atas, terlihat bahwa pluralisme agama telah berhasil mewujudkan keharmonisan daripada konfrontasi atau disintegrasi. Namun, hal ini tidak selalu berlaku, karena dalam beberapa kejadian lain, pluralisme agama juga dapat menimbulkan konflik yang mengakibatkan adanya jarak sosial yang semakin melebar di antara penganut agama yang berbeda.
Menciptakan kerukunan dan ketenangan hidup bagi umat beragama di Indonesia adalah sesuatu yang sangat penting untuk diupayakan, sebagai bagian dari usaha menciptakan kondisi yang kondusif sebagai aspirasi dan harapan untuk masa depan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Mukti Ali (1975:70) menyatakan bahwa mencapai kerukunan hidup beragama memerlukan pendekatan yang melibatkan pemahaman terhadap eksistensi agama lain. Untuk mencapai pemahaman yang menyeluruh tentang agama lain, toleransi adalah hal yang mutlak diperlukan oleh penganut agama lain, karena hal ini merupakan prasyarat dalam kehidupan masyarakat majemuk dan kemajuan, jika ditunjukkan dalam bentuk sikap-sikap yang demikian.
Dalam usaha untuk memahami agama mereka sendiri, Mukti Ali menekankan perlunya pendekatan yang bersifat parsial dan integral. Pendekatan integral membutuhkan beberapa syarat: pertama, kebutuhan intelektual, di mana upaya untuk memahami agama secara menyeluruh dan memiliki akses terhadap informasi yang memadai sangat penting. Kedua, kondisi emosional yang memadai, yang melibatkan pemahaman terhadap agama yang berbeda dengan agama mereka sendiri, bukanlah sekadar sikap masa bodoh, tetapi membutuhkan kepekaan, perhatian, dan partisipasi. Mukti Ali menegaskan bahwa pengalaman yang luas dengan karakter manusia yang beragam dapat memfasilitasi pemahaman terhadap agama lain. Dialog antar umat beragama, menurutnya, bukanlah untuk membenarkan atau menolak agama lain, tetapi untuk saling memahami dan menanggulangi masalah kehidupan yang lebih baik baik secara materi maupun spiritual.

METODE PENELITIAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun