Kemampuan dalam berhaji pada umumnya didasarkan oleh kemampuan dari sisi fisik dan juga kemampuan dalam sisi harta. Dalam perjalanan haji ke Mekah dan pelaksanaan manasik haji diperlukan fisik yang sehat juga membutuhkan harta untuk bekal selama di Mekah.
Jika kita melihat perjalanan waktu dari masa ke masa dengan keadaan situasi dan kondisi yang berbeda dengan masa kini juga tempat yang berbeda pula, telah mengakibatkan perbedaan hasil ijtihad para ulama mengenai masalah suatu hukum. Kaidah  fiqh menyatakan bahwa tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihad. Salah Satu contoh permasalah yang terdapat perbedaan ijtihad ulama di dalamnya adalah permasalahan tentang makna mampu dalam melaksanakan haji. Masalah ini disebabkan tidak ada nas baik dalam Al-Quran maupun al-Sunnah yang secara tegas dan baku menjelaskan pemaknaan mampu dalam pelaksanaan ibadah haji.
Makna Istia'ah dalam Pandangan Madzhab Hanafiyah
Menurut Hanafiyah, istia'ah dalam berhaji memiliki beberapa pengertian, yaitu:
1. Kemampuan dalam haji pada tiga aspek yaitu, kemampuan jasmani, kemampuan harta dan keamanan yang terjamin.
2. kemampuan jasmani adalah sehatnya badan, kemampuan harta adalah mempunyai bekal untuk pergi dan pulang juga alat transportasi setelah terpenuhi segala kebutuhan keluarga yang ditinggalkan. Adapun yang dimaksud dengan keamanan yang terjamin adalah keamanan dalam perjalan menuju Mekah.
3. Keamanan wanita adalah berpergian haji dengan mahram yang balig dan berakal. Dan diharamkan berhaji tanpa mahram apabila jarak si wanita dan Mekah adalah jarak safar.
Makna Istia'ah dalam Pandangan Madzhab Malikiyah
Adapun istia'ah dalam berhaji pada pandangan malikiyah adalah:
1. Kemampuan untuk sampai ke Mekah sesuai dengan adat kebiasaan yang adadi masyarakat. Baik dengan berjalan ataupun dengan mengendarai kendaraan.
2. Keamanan dalam mengadakan perjalanan haji
3. Bagi wanita yang berhaji diwajibkan berhaji dengan mahram.
Makna Istia'ah dalam Pandangan Madzhab Syafi'iyah
Istia'ah dalam pandangan Syafi'iyah terangkum dalam tujuh poin berikut:
1. Kemampuan jasmani dengan sehatnya badan dan mampu berada di atas kendaraan tanpa adanya kesulitan.
2. Kemampuan harta dengan adanya bekal untuk perjalanan pulang dan pergi
Kepemilikan kendaraan untuk haji ataupun dengan sewa kendaraan.
3. Adanya bekal dalam perjalanan haji.
4. Amannya perjalanan menuju Mekah.
5. Bagi wanita yang berhaji maka diwajibkan dengan suaminya atau
mahramnya atau dengan jamaah haji wanita yang dapat dipercaya.
6. Kesanggupan untuk mencapai tujuan pada waktu yang telah ditentukan, dan waktu itu cukup untuk melakukan rangkaian manasik haji yaitu dari bulan Syawal hingga dzulhijjah.
Hubungan Istia'ah dengan Dana Talangan Haji
Tujuan dari dana talangan haji adalah pemanfaatan dana tersebut untuk merealisasikan perjalanan ke Mekah agar lebih pasti dan lebih efisien dalam hal waktu keberangkatan. Suatu hal yang kita tidak dapat pungkiri bahwa suatu produk memilikisisi positif dan juga negatif, begitu juga dengan produk dana talangan haji. Secara kasat mata produk ini sangat membantu masyarakat muslim Indonesia untuk melaksanakan ibadah haji, namun apabila diteliti dan dicermati, dalam produk ini ada pengaburan dan pembiasan makna istia'ah (mampu) yang menjadi salah satu syarat menunaikan ibadah haji.
Dalam pandangan Islam orang yang tergolong belum mampu namun sudah memperoleh kuota haji dikarenakan adanya dana talangan ini, padahal dalam keadaan seperti ini tidak ada jaminan kepastian untuk berangkat, karena ketika jatuh tempo pelunasan belum ada kepastian apakah bisa membayar dana talangan ini atau tidak.Â
Maka dari itu kita dapat simpulkan bahwa dana talangan ini tidak secara otomatis menjamin adanya kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji, karena dalam produk dana talangan ini mengandung unsur hutang yang mengharuskan pelunasan sehingga mengurangi kesempurnaan istia'ah yang seharusnya tidak ada unsur pemaksaan atas diri sendiri dalam melaksanakan ibadah haji ini. Allah ta'la berfirman:
Artinya :"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya." (QS. Al- Baqarah:286).
Fiqh islam wa Adillathu, 2 ed. (Damaskus: Dari al-fikr, 1985).
Al-mu'tamad Fi al-madzhab al-Syafi'i, 2 ed. (Damaskus: Dari al-fikr, 1985).
Fiqh al-Dalil Syarh al-Tashil, ed(Riyad : Martabak Rusyd, n. d.).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H