"Masuklah di dalam, Nur, kau juga harus salat Isya, aku ke masjid dulu." Rino berlalu meninggalkan diriku dan Aku pun masuk ke dalam kamar indekostku.
Sekitar setengah jam berada di rumah, aku mendengar suara Rino sudah pulang dari salat. Hatiku mulai berdebar-debar mendengar suara Rino. Tiba-tiba kudengar Rino memberi salam di indekostku.
Aduh, mau apa Rino bertamu di indekostku, aku pasti dimarahi oleh Hasan, sepupuku. Syukurlah sepupuku tidak tahu bahwa Rino mencari aku. Aku  biarkan mereka bercerita berdua, aku tidak mau muncul di depan nanti sepupuku tahu bahwa aku telah mengenal cinta. Kudengar lama mereka berbincang-bincang dengan bahasa daerah karena kebetulan Rino sekampung dengan sepupuku Hasan.
****
Cintaku kandas di tengah jalan. Setelah  aku dan Rino menjalin cinta kasih selama kurang lebih tiga tahun bersama dalam suka duka, cintaku tak direstui orang tua Rino. Kami  pun berpisah baik-baik dengan deraian air mata. Aku dan Rino tak mungkin lagi bersatu tanpa restu orang tuanya.
Aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Aku  telah move on, dan kembali menatap impianku. Aku  tak menghiraukan lagi yang namanya lelaki. Pintu  hatiku telah tertutup walau ada beberapa pria yang datang untuk mengobati luka hatiku.
Kadang rindu ini hadir saat mendengar petikan gitar dan senandung Malaysia yang biasa Rino nyanyikan untukku. Terbayang lagi masa itu ketika awal bertemu dengan Rino yang selalu memetikkan dawai gitarnya untukku.
Hatiku terenyuh bila mengenang masa-masa indah bersama Rino. Namun, semua yang kubayangkan hanyalah khayalan belaka yang tak mungkin kembali lagi bersama. Rindu senandungmu hanya untuk hatiku yang telah remuk dan menghilang bersama sang waktu.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H