"Kau kayak peramal saja, Nur! Ada  seseorang yang kusuka, tapi aku tidak tahu apakah dirinya suka aku," tatapan netranya kosong memandang jauh ke depan.
"Mengapa tidak kau utarakan saja isi hatimu pada gadis pujaan hatimu?"
"Bagaimana kuutarakan isi hati? Titip salam saja lewat teman, dia hanya diam saja, apakah dia mau atau tidak?"
"Mengapa tidak bertemu langsung agar kau tahu apakah dia terima dirimu atau tidak daripada melalui temanmu?" usulku.
"Di manakah gadis itu? Ada  di indekos ini atau teman kuliahmu, Rino?"
"Ada di indekos ini, Nur."
Kulihat wajah Rino menunduk dan mulai jari-jemarinya memetik gitar.
"Mengapa tidak langsung saja bertemu malam ini, kebetulan malam Minggu?"
"Iya, Nur, malam ini juga akan kutanya dirinya, apa dia bersedia pacaran dengan diriku."
"Kalau begitu ke indekosnya saja sekarang!"
"Tidak perlu ke indekosnya, Nur ... karena yang kumaksud ada di sampingku."
Aku kaget ketika Rino berkata seperti itu. Hatiku berdebar-debar. Akan tetapi, aku harus hilangkan rasa itu. Mungkin,  aku yang salah dengar dan tidak mungkin Rino suka aku. Aku  hanyalah gadis  si Hitam Manis. Aku pura-pura bertanya.