Mohon tunggu...
Nur Midah
Nur Midah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Andalas

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ujaran Kebencian di Era Digital: Kasus Ahmad Dhani dan Reaksi Publik

21 Desember 2024   14:02 Diperbarui: 21 Desember 2024   14:01 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abstrak
Ujaran kebencian di era digital menjadi isu yang semakin kompleks dengan berkembangnya penggunaan media sosial. Artikel ini mengeksplorasi kasus Ahmad Dhani,
seorang figur publik Indonesia yang dihukum karena ujaran kebencian, serta reaksi publik
yang muncul di tengah proses hukum yang dihadapinya. Studi ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif untuk menganalisis konten ujaran Ahmad Dhani, bagaimana proses hukum berjalan, dan bagaimana masyarakat, baik pendukung maupun penentang, merespons melalui media sosial serta ruang publik. Reaksi publik terhadap kasus ini beragam, mencerminkan perdebatan antara kebebasan berpendapat dan pentingnya menjaga kerukunan sosial di tengah masyarakat yang majemuk. Artikel ini juga menyoroti bagaimana regulasi terkait ujaran kebencian diterapkan di Indonesia dan tantangan yang muncul dalam mengatur
ekspresi di platform digital.

Kata Kunci: Ujaran Kebencian, Era Digital, Media Sosial, Reaksi Publik Terhadap
Ujaran Kebencian Ahmad Dani

Abstract
Hate speech in the digital era is becoming an increasingly complex issue with the
growing use of social media. This article explores the case of Ahmad Dhani, an Indonesian public figure who was convicted of hate speech, as well as the public reaction that emerged amidst the legal process he faced. This study uses a qualitative descriptive approach to analyze the content of Ahmad Dhani's speech, how the legal process works, and how the public, both supporters and opponents, responds through social media and public spaces. Public reactions to this case have been mixed, reflecting the debate between freedom of opinion and the importance of maintaining social harmony in a pluralistic society. This article also highlights how regulations related to hate speech are implemented in Indonesia and the challenges that arise in regulating expression on digital platforms. 

Keyword: Hate Speech, Digital Era, Social Media, Public Reaction to Ahmad Dani's Hate Speech 

PENDAHULUAN

Tanggal 28 Januari 2019, Ahmad Dhani resmi divonis Majelis Hakim setelah  dilaporkan oleh Jack Lapian atas kasus tuduhan ujaran kebencian yang dituliskan Ahmad  Dhani melalui akun Twitter-nya @AHMADDHANIPRAST pada tahun 2017. Terdapat tiga  postingan Ahmad Dhani yang dianggap mengandung unsur ujaran kebencian terhadap  mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok terkait penistaan agama dalam  akun Twitter-nya yang dikirimkan pada tanggal 7 Februari, 6 Maret dan 7 Maret 2017 seperti berikut : Pada tanggal 7 Februari Ahmad Dhani menuliskan pada akun Twitter-nya:  "Yang menistakan agama si Ahok, yang diadili KH Ma'ruf Amin..." Pada tanggal 6 Maret  Ahmad Dhani kembali menulis: "Siapa saja yang dukung penista agama adalah bajingan  yang perlu diludahi mukanya." Terakhir, pada 7 Maret, Ahmad Dhani menulis: "Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Penista agama jadi gubernur... Kalian Waras ???". Postingan Ahmad Dhani di media sosial Twitter ini menjadi hal menarik di dunia  virtual karena dalam pandangan peneliti, portingan ujaran kebencian tersebut kemudian  menjadi semacam teks yang terdistribusikan melalui media sosial Twitter Ahmad Dhani  untuk menyebarkan kebencian terhadap Ahok yang pada saat itu terkait kasus penistaan  agama sehingga menjadikan postingan tersebut sebagai suatu artefak budaya dari internet dan interaksi yang terdapat didalam postingan ujaran kebencian tersebut merupakan suatu nilai budaya yang dikonstruksi oleh komunitas virtual. Tercantum dalam Safenet Voice (Southeast Asia Freedom of Expression Network), sebagai gerakan yang mempromosikan kebebasan berbicara di Asia Tenggara, dari tahun 2008 hingga 2016 tercatat 179 kasus terkait UU ITE. Pasal yang sering digunakan terutamanya pasal 27 dan 28. Dikutip oleh CNN Indonesia, sebanyak 79,3 persen perkara  ITE menggunakan pasal 27 ayat 3 mengenai pencemaran nama baik. (Sugiharto, 2016) (Sugiharto, 2016). Ujaran kebencian di era digital telah menjadi isu krusial, terutama dengan  meningkatnya penggunaan media sosial. Kasus Ahmad Dhani, seorang musisi Indonesia, menjadi contoh nyata bagaimana kebencian dan kebencian dapat memicu protes publik yang luas. Di satu sisi, kebebasan berekspresi sering disalah artikan sebagai hak untuk menyebarkan kebencian, sementara di sisi lain, tindakan hukum diambil untuk menanggulangi dampak negatifnya. Reaksi masyarakat terhadap kasus ini mencerminkan ketegangan antara perlindungan terhadap kebebasan yang dikemukakan dan kebutuhan untuk menjaga keharmonisan sosial di tengah polarisasi yang semakin meningkat. 

METODE PENELITIAN

Metode etnografi virtual digunakan untuk mempelajari budaya dan praktik-praktik manusia dalam lingkungan digital. Penelitian ini fokus pada akun Twitter @AHMADDHANIPRAST milik Ahmad Dhani, yang dikenal karena twitter kontroversialnya. Analisis ini mencakup aspek-aspek seperti ruang media, dokumen media,  objek media, serta pengalaman media yang terkait dengan kebencian dan kebencian Ahmad  Dhani. Metode penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, yang bertujuan untuk menggambarkan fenomena ujaran kebencian di era digital melalui kasus Ahmad Dhani dan bagaimana reaksi publik terhadapnya. Pendekatan ini akan menggali makna di balik fenomena yang ada serta melihat respons publik secara lebih mendalam, baik di media sosial maupun di media massa. 

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Ujaran Kebencian di Era Digital Kasus Ahmad Dani Hate Speech (Ucapan Penghinaan atau kebencian) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok kepada oranglain atau pihak lain. Hate Speech  dapat dilakukan dalam berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Dalam arti hukum, Hate speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka dari pelaku ataupun korban dari tindakan tersebut. (Mawarti, 2018) 

Di era digital ini perkembangan zaman sangat begitu pesat di semua aspek kehidupan, baik itu aspek Mesin, Transfor, dan Telekomunikasi, kalau telekomunikasi membahas tentang Media sosial. Dari situs web Wikipedia menyebutkan Media sosial yang dikenal dengan jejaring sosial adalah sarana dimana dapat berpartisipasi antara pengguna, berbagi, mengisi blog, mengomentari,di jejaring sosial secara Virtual. Dalam Jurnal Bu Errika Dwi Stya Watie Mencatutkan Pendapat Ardianto dalam bukunya tentang komunikasi 2.0 menyebutkan Media Sosial adalah bukanlah Media massa Online karena jejaring sosial lebih besar fungsinya mempengaruhi opini yang berkembang di masyarakat saat itu, serta mampu menggalang dukungan dan gerakan massa, bisa terbentuk karena kekuatan jejaring sosial. (Watie, 2011) Ruang media merupakan tingkatan yang dapat menunjukkan bagaimana struktur dari medium di internet yang merupakan tempat terjadinya komunikasi yang saling berinteraksi ialah media sosial Twitter dalam akun @AHMADDHANIPRAST. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun