Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu sumber pendapatan terbesar negara. PPN dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang dan jasa, sehingga kebijakan mengenai tarif PPN berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Pada tanggal 5 Desember 2024, Presiden Republik Indonesia yakni Prabowo Subianto menerima beberapa perwakilan DPR RI ke Istana Negara untuk membahas mengenaip kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% dan penerapan pasti PPN 12%.
Ketua Komisi XI DPR RI Mukhammad Misbakhun mengumumkan bahwa Presiden RI yakni Prabowo Subianto menerapkan PPN 12% yang mana akan berlaku pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini menimbulkan berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Sebagian kalangan mendukung langkah kenaikan PPN ini sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan negara dan memperkuat anggaran. Namun, ada sebagian kalangan masyarakat khawatir bahwa kenaikan PPN ini akan berdampak pada daya beli masyarakat, inflasi, dan sektor usaha lainnya.
Kenaikan PPN 12% didasari oleh banyak hal, pertama, kebutuhan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara di tengah kebutuhan pembangunan yang terus meningkat, terutama pasca-pandemi COVID-19. Peningkatan anggaran ini diperlukan untuk membiayai berbagai macam program, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan subsidi energi.
Kedua, hal ini mempunyai tujuan untuk reformasi perpajakan yang lebih luas. Pemerintah Indonesia berupaya memperluas basis pajak dan menekan defisit anggaran. Sebagai negara dengan tingkat kepatuhan pajak yang relatif rendah yaitu sebesar 10,39% di tahun 2022, peningkatan PPN ini dianggap lebih efektif untuk mendongkrak penerimaan dibandingkan dengan pajak langsung.
Ketiga, Indonesia berada dalam jalur harmonisasi tarif PPN dengan negara-negara tetangga di ASEAN. Sebagai perbandingan, tarif PPN di Negara Filipina mencapai 12%, di Negara Vietnam mencapai 10 %, sementara di Negara Singapura sebesar 8% pada tahun 2023 dengan rencana naikmenjadi 9% pada tahun 2024 atau sekarang ini.
Ketua Komisi XI DPR RI Mukhammad Misbakhun menambahkan bahwa keputusan kenaikan PPN 12% melihat pertimbangan kondisi daya beli masyarakat yang terus meningkat. Di sisi lain, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sudah mengamanatkan kebijakan tersebut berlaku sebelum Januari 2025.
Kenaikan tarif PPN ini sangat berpengaruh untuk daya beli masyarakat, terutama pada kelompok menengah ke bawah. Harga barang dan jasa yang terkena PPN otomatis meningkat. Meski kenaikannya hanya 1%, dampaknya sangat terasa. Misbakhun meminta masyarakat kelas menengah ke bawah tidak perlu khawatir kebijakan tersebut akan mengganggu daya beli ke depannya.
“Masyarakat tidak perlu khawatir karena ruang lingkup mengenai kebutuhan barang pokok, kemudian jasa pendidikan, jasa kesehatan, kemudian jasa perbankan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat pelayanan umum, jasa pemerintahan, tetap tidak digunakan PPN”, kata Misbakhun.
“Pemerintah hanya memberikan beban itu kepada konsumen pembeli barang mewah. Masyarakat kecil tetap kepada tarif PPN yang saat ini berlaku,” ungkap Misbakhun.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mejadii 12% hanya diberlakukan untuk barang mewah seperti mobil, apartemen, dan rumah mewah. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, yaitu “Mobil mewah, apartemen mewah, rumah mewah, yang semuanya serba mewah”.
Langkah ini bertujuan untuk melindungi kelompok rentan yaitu masyarakat menengah ke bawah. Meski begitu, Inflasi yang diakibatkan kenaikan PPN bisa merembet ke sektor lain, sehingga masyarakat tetap harus bersiap menghadapi potensi kenaikan biaya hidup.
Bagi pelaku usaha, kenaikan PPN dapat membawa konsekuensi yang kompleks. Di satu sisi, pelaku usaha harus menaikkan harga jual untuk menyesuaikan tarif pajak baru, yang berpotensi mengurangi daya saing mereka. Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang sensitif terhadap naik turun harga yang kemungkinan besar akan terkena dampak lebih besar dibandingkan perusahaan besar yang memiliki cadangan modal lebih besar.
Namun, beberapa sektor usaha dapat beradaptasi dengan beberapa strategi tertentu. Misalnya mereka dapat memotong biaya produksi atau mengurangi margin keuntungan untuk mempertahankan harga jual. Selain itu, kenaikan PPN mendorong pelaku usaha untuk lebih terintegrasi dalam sistem perpajakan formal, mengingat sistem pencatatan yang lebih tertib akan menjadi kebutuhan untuk mengindari sanksi pajak.
Secara makroekonomi, kenaikan PPN berpotensi memicu inflasi jangka pendek. Saat harga barang dan jasa meningkat, daya beli masyarakat menurun, sehingga konsumsi rumah tangga-kontributor utama terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dapat melemah. Jika tidak diimbangi dengan langkah kebijakan lain, dampaknya bisa meluas pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Namun, ada sisi positif dari kebijakan ini. Jika penerimaan pajak meningkat, pemerintah memiliki ruang fiskal yang lebih luas untuk mendanai proyek infrastruktur dan program sosial. Dalam jangka Panjang, hal ini dapat menciptakan efek ganda yang memperkuat perekonomian.
Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini tidak berdampak berat pada masyarakat kecil dan pelaku usaha kecil. Salah satu caranya adalah melalui peningkatan subsidi atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada kelompok yang paling rentan. Selain itu, perlu dilakukan edukasi dan sosialisasi yang massif mengenai kebijakan ini, sehingga masyarakat dan pelaku usaha dapat memahami tujuan jangka panjangnya.
Digitalisasi sistem perpajakan juga harus ditingkatkan untuk mempermudah pelaporan pajak dan meminimalkan potensi kebocoran. Dengan demikian potensi penerimaan pajak dapat dimaksimalkan tanpa menambah beban yang berlebihan pada masyarakat.
Kenaikan PPN menjadi 12% adalah langkah strategis pemerintah untuk Meningkatkan pendapatan negara dan memperkuat stabilitas fiskal. Meskipun kebijakan ini memiliki manfaat jangka Panjang, dampak langsungnya pada daya beli masyarakat, inflasi, dan sektor usaha lainnya tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, keberhasilan implementasi kebijakan ini sangat bergantung pada langkah mitigasi yang diambil pemerintah, termasuk perlindungan bagi kelompok rentan dan dukungan kepada dunia usaha.
Masyarakat juga diharapkan dapat memahami bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memperbaiki kondisi ekonomi negara secara keseluruhan. Dengan manajemen yang tepat, kenaikan PPN ini dapat menjadi katalisator bagi pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan di masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI