Mohon tunggu...
Budi Setiawan
Budi Setiawan Mohon Tunggu... Petani - Petani

petani lereng gunung sumbing temangung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen-cerita Terbunuhnya Seorang Demonstran

16 April 2017   17:36 Diperbarui: 17 April 2017   02:00 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa yang sebenarnya terjadi?

Apakah akan turun hujan?

Namun, sudah 1 bulan ini hujan berlibur, tak jatuh di tengah jalanan yang penuh dengan polusi kendaraan. Maka, terpaksa kami menyemprotkan gas air mata, untuk membubarkan kerumunan masa yang kian murka. Dengan ulah mereka yang pandai berdusta.

Lelaki itu mundur beberapa langkah. Saat teman-teman mereka membakar ban bekas, melempar batu ke udara. Dan baku hantam tak terelakkan. Tiba-tiba suara itu terdengar, suara yang menghentikan tangan dan kaki saling memaki. Suara yang membuat semua mata terbelalak tertuju pada seorang lelaki demonstran, yang aku kenal lewat tatapan matanya. Mengeluarkan darah di rongga dada, ketika sebuah timah panas bersarang pada jantungnya. Ia terkapar, tersungkur, dan terjatuh. Bersujud menghadap arah kiblat. Di barengi lafal allahu akbar. Seorang lelaki misterius, entah sengaja maupun tidak, telah menghilangkan nyawanya.

Beberapa menit setelah lelaki itu di bawa mobil ambulan malaikat izroil duduk di sebelahnya dan mencabut nafas lelaki itu dengan paksa. Sungguh ini murni kecelakaan. Sebab di dalam demonstrasi sesuatu yang tidak kita harapkan, semua pasti dapat terjadi. Semisal kematian, biarlah menjadi catatan hitam, kalau itu indah untuk kita kenang. Toh, tak ada yang diuntungkan juga dirugikan. Kecuali orang tuanya yang menatap anaknya tergeletak tanpa gelar sarjana. Ia seakan pahlawan, bendera kelabu memayungi kepergiannya, media massa memberitakan perjuangannya. Rakyat memberi hormat, atas pengorbanannya yang perlahan kami lupakan. Dan hukum di tutup dengan unsur ketidaksengajaan. 

***

Semenjak peristiwa berdarah itu. Tubuhku selalu menggeletar setiap mengingat namanya yang aku kutip pada sebuah koran yaitu " . . . . sang korban penembakan." Bagaimana mungkin aku bisa lupa, tatapan mata seorang demonstran. Wajah yang selalu tenang, suara lantang meminta keadilan. Kini telah di lianglahatkan. Sebelum aku dan dirinya saling berkenalan sebagai teman bukan musuh atau lawan. 

Rasa trauma sering kali menghantui. Bila jemari kaki menapaki jalanan sepi dekat gedung bertingkat ini. Saat remang malam membayang. Genangan hujan berubah darah dan banjir seperti permisi merobek memori. Lelaki itu mengetuk pintu berkali kali membekapku berucap kata rindu di sekujur tubuhku. Dan pada akhirnya, aku melukis lagi tatapan mata itu. Mata seorang demonstran yang mati di depan tubuhku sendiri. Kemudian insomnia berlari menuju ranjang tempat seseorang meletakkan matanya pergi. Maka, begitulah seterusnya. Cerita ini bersemi tanpa jeda di balik dada.

Sungguh kegilaan ini kian menjadi, aku yang sering di serang perasan perasaan-perasaan tertekan. Mulai mangkir dari pekerjaan. Satu hari berangkat, lima hari tanpa kabar. Sebab jika aku menatap kerumunan masa, maka bayangan lelaki itu melambai-lambai, lelaki yang selalu membekap mataku dengan darahnya.

Aku mundur beberapa jengkal, membuka lembar demi lembar. Meninggalkan jejak tak berjejak. Sebelum Mengajukan pensiun dini dan berubah profesi menjadi penjaga kubur. Di sinilah tempat yang selama ini aku cari, tempat yang mendekatkan seseorang dengan kematian dan seseorang yang telah mati di tangan seseorang.

Hingga, telinga televisi menggetarkan gendang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun