Mohon tunggu...
Budi Setiawan
Budi Setiawan Mohon Tunggu... Petani - Petani

petani lereng gunung sumbing temangung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen-cerita Terbunuhnya Seorang Demonstran

16 April 2017   17:36 Diperbarui: 17 April 2017   02:00 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Waktu berjalan begitu pelan ke belakang dan menemukanku tersandung lamun di atas hamparan makam. Di sini aku datang sebagai teman, bukan musuh atau lawan. Itulah mengapa setiap petang di atas rumahmu yang remang. Rumah seorang teman (mungkin mantan pejuang), aku setia menjenguk menggugurkan sekeranjang bunga hitam, bunga pengganti matamu yang terpejam. Batu nisan hanya kiasan. Mungkin juga perumpamaan. Aku dan lelaki itu teman seperjuangan. Namun, pada nyatanya kita tak pernah saling mengenal di tanah ini, tanah yang penuh harum demonstrasi.

***

Memang, dulu kita sering bertemu. Bahkan berseteru. Tepatnya di tengah jalan dekat gedung bertingkat itu. Ketika Mata api yang ia pancarkan meminta keadilan. Lewat nada-nada teriakan. Selalu saja tentang kebijakan yang membuat rakyat di rundung susah, mengharuskan lelaki itu turun tangan berkata tolak. Sebab ia yang kontra membuat macet jalanan ibukota. Dengan segala atribut yang ia bawa. Di tambah Teman-temannya yang tak terhitung jumlahnya. Datang memberi dukungan.

Tapi, “Tenang teman, kita datang ke sini bukan ingin mencari ribut atau benjut, namun ingin memperjuangkan aspirasi rakyat, kata bijak itu terngiang di benak para demonstran.”

Ia berdiri di barisan terdepan. Mengepalkan tangan. Mengibarkan bendera penolakan. Suara orasinya, sungguh menyayat hati. “Ketika teman-temannya berkata turunkan, turunkan, turunkan.” Jalanan lengang penuh gemuruh cibiran menentang. Aku yang pro hanya menatap datar. Berlindung di balik benteng sejajar. Bila sewaktu-waktu masa sulit di kendalikan, kami siap mengambil tindakan.

Hari itu pertama kali kita berjumpa, di bawah ganas matahari yang membakar tulang. aku masih memandangimu sebelah mata. Tak ada beda seperti para demonstran lainnya. Yang pada akhirnya, bila tuntutan tidak di penuhi akan bertindak anarkis. Demikian cerita yang aku dengar. Oleh karena itu, aku amat benci dengan keadaan seperti ini. Sudah sedari pagi berdiri, menjadi benteng penghalang mereka yang ingin masuk dengan paksa.

Oh, beginilah setiap hari, tugas mulia harus aku jalani. Demi mengamankan ribuan masa, kata ngeluh dan ngilu, aku buang jauh-jauh. Tapi, sering kali cerita berakhir sama. Dengan bonyok dan memar bersarang di sekujur badan. Hingga lelaki yang aku kenal lewat tatapan matanya datang kembali. Ia menjelma sebagai pemimpin dari kerumunan masa yang masih belum percaya. Jika hari itu, hari di mana tuntutan mereka tanpa hasil apa-apa.

Kata menyerah hanya sepenggal kisah pilu di hari lalu. Sebab pada hari kedua di moment yang berbeda, mereka datang membawa masalah baru. Teaterikal tentang lekaki susah saat subsidi dinaikan dan berimbas melonjaknya harga di pasaran. Penyebab banyak rakyat menjerit di kolong jembatan. Membuat lelaki itu berulah kembali di meja jalan. Aku dan dirinya bertatap mata. Kali ini dengan sedikit ekspresi marah. Aku membentaknya, agar mereka segera bubar dan tak menyebabkan lecet jalan-jalan yang sudah macet. Ingatan itu masih mengalir seperti banjir yang memisahkan bayangan kami berdua.

***

Hari ketiga dimana jam menunjukkan lebih pukul 6 petang. Saat suara orasi belum terhenti. Saat korupsi mendarah daging di negeri ini. Lelaki itu kembali berdiri. Mengajak teman-temannya tetap bertahan. Mengangkat spanduk, bertulis negeri ini akan aman, bila korupsi di basmi, bukan dibudidayakan dan dilestarikan. Dalam pertemuan ke tiga itu, ada perasaan aneh yang lekat tak enak. Aku melihat awan gelap bersarang di ubun-ubun kepalanya. Juga burung gagak hinggap di pundaknya.

Benarkah itu hanya halusinasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun