Mohon tunggu...
Nurmalasari
Nurmalasari Mohon Tunggu... Konsultan - Public Health Specialist

Passionate in Youth4Health & Mental Health | SDGs, Social Network, & Indigenous Enthusiasts

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengadu Nasib di Kerasnya Kehidupan Jakarta, Kisah Alumni Bidikmisi dan Pencerah Nusantara (Part 1)

16 September 2018   15:20 Diperbarui: 16 September 2018   15:55 1098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahasiswa Bidikmisi Ini Berhasil Menjadi Pencerah Nusantara

Sebenarnya foto wisuda di atas diambil 6 bulan sejak aku menjalani fase hidup sebagai Pencerah Nusantara, Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs, yang ditempatkan di Kepulauan Mentawai. Yaps, benar!

Singkat cerita aku menunda wisuda demi menjadi Pencerah Nusantara, sebuah mimpi yang kujumpai sejak tahun 2012 dan ya karena aku mahasiswa bidikmisi yang bisa mengenyam bangku kuliah karena dibiayai negara dari pajak rakyat jadi sudah menjadi kewajibanku kembali kepada masyarakat. Aku sudah menyandang gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat per 29 Agustus 2014. Namun, baru diwisuda 29 Maret 2015. Langka nggak?

Maka, jangan tanya padaku bagaimana rasanya melamar pekerjaan pasca menyandang gelar Sarjana atau pasca wisuda, bagaimana gelisahnya menjadi mantan mahasiswa dalam masa tunggunya. Aku tidak memahami itu. Mungkin sampai pada kalimat ini, teman-teman akan menyebutku sombong! Justru, ini salah satu tantangan berat buatku.

Nekat. Ya, karena jiwa bonekku terlalu tinggi sehingga saat sedang proses pengerjaan skripsi aku nekat daftar Pencerah Nusantara. Awalnya, karena tahu proses ini mustahil, jadi tidak yang terlalu berharap walaupun dalam hati tetap berharap juga. Percayalah, jika semuanya diserahkan kepada Allah maka hal yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin.

Seperti yang teman-teman tahu, Nurmalasari akhirnya berhasil menjadi 1 dari 35 Pemuda yang terpilih menjadi Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs. Kabar fantastis ini kudengar sehari selepas aku menjalani sidang skripsi, penentuan apakah aku lulus dan layak menjadi Sarjana atau tidak.

Kehidupan sebagai seorang Pencerah Nusantara nano-nano banget rasanya. Bahkan berhasil merubah kehidupanku 180 derajat besarnya. Tidak hanya keseharian namun dalam lingkup profesi. Namun, aku tidak akan menjabarkannya di sini karena teman-teman dapat kepo kisahku selama menjadi Pencerah Nusantara di artikel Aku, SKM, dan Pencerah Nusantara.

Purna tugas sebagai Pencerah Nusantara, aku bahkan menjadi artis di kampus hahaha setelah aku masuk untuk kedua kalinya di Warta Unair: Cerita Nurmalasari, Alumni Yang Abdikan Diri di Mentawai. Undangan menjadi Narasumber di berbagai acara pun mulai memadati agendaku. Impianku semakin terbuka. Ya, menjadi Pencerah Nusantara membuka kesempatanku untuk menggapai mimpi-mimpiku, begitu pikirku. Hingga akhirnya aku memutuskan mengadu nasib di Jakarta.

Alumni Pencerah Nusantara ini Mengadu Nasib di Jakarta Demi Menggapai Mimpi

Janji sebagai Pencerah Nusantara
Janji sebagai Pencerah Nusantara

Seperti yang kubilang sebelumnya bahwa selepas aku diwisuda, aku tidak merasakan fase melamar pekerjaan - membuat cover letter dan CV, kemudian menunggu kabar baik dari pemberi kerja. Aku tidak merasakan saat itu juga, namun ini kurasakan setelah aku purna tugas sebagai Pemuda Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs.

Itu kenapa tekanan (sosial) yang kurasakan begitu tinggi dan itu kenapa aku bilang sebelumnya bahwa bukannya sombong tetapi ini menjadi tantangan besar buatku. Lebih baik menjadi pengangguran sehabis wisuda daripada sehabis menyandang gelar prestise sebagai Pencerah Nusantara. Itu pikirku.

Dengan pengalaman melamar pekerjaan yang nol tersebut, aku nekat melamar pekerjaan di Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives. sebagai Project Officer Divisi Riset dan Pengembangan. Lagi-lagi Allah memang Maha Romantis. Perjuangan yang tidak gampang sehingga tepat per 29 Oktober 2015 aku secara resmi menjadi bagian dari Kantor Pusat Pencerah Nusantara ini.

Merasakan Pengalaman Tidur di Stasiun Pasar Senen hingga Numpang Mandi di Masjid 

Sehabis purna tugas sebagai Pencerah Nusantara, aku sebenarnya ditawari untuk membina Rumah Remaja oleh Bapak Rachmat Hargono. Cuma takdir menuntunku kepada keputusan yang tidak mudah, yakni melamar kerja di CISDI.

Dengan minimnya pengalaman kerja yang kumiliki, ada rasa minder menyeruap. Namun, karena pekerjaan yang ditawarkan sebagai peneliti junior merupakan pekerjaan yang sudah aku impikan sejak menjadi mahasiwa, jadi lagi-lagi aku bonek.

Beruntungnya aku masih menyimpan buku dari Pusat Pembinaan Karir dan Kewirausahaan Universitas Airlangga. Karena di dalamnya terdapat panduan pembuatan CV dan Cover Letter. Aku pun langsung membuat kedua persyaratan administrasi yang diminta CISDI tersebut.

Entah yang kubikin sudah baik atau belum, karena nyatanya aku tidak memiliki tempat untuk bertanya. Lebih tepatnya memang aku tidak bertanya, karena aku tidak ingin orang-orang tahu bahwa aku sedang "melamar pekerjaan".

Kak Liza Pratiwi, Wali Kelas Tim Mentawai yang juga Koordinator Divisi Riset dan Pengembangan, hanya memberiku semangat mengingat posisinya yang harus netral, "Mele berikan yang terbaik dari yang kamu punya. Itu saja pesan kakak", aku masih mengingatnya hingga sekarang.

Dukungan yang Kak Liza berikan saat kami berjumpa di pernikahan Liska, teman setim di Pencerah Nusantara, setelah aku cerita bahwa aku mendapat kabar (baik) dadakan kala sedang perjalanan menuju Ponorogo, tempat acara berlangsung.

Begitu saja sudah cukup bagiku. Aku pun langsung pesan tiket Kereta Api. Beruntungnya aku membawa baju yang cukup rapi untuk melakukan wawancara. Ah ini kedua kalinya aku wawancara kerja setelah wawancara Seleksi Pencerah Nusantara.

Karena tidak ada kerabat, jadi aku terpaksa menggelandang 1 hari 2 malam di Stasiun Pasar Senen dan Masjid. Rasa takut ada karena ini kedua kalinya aku ke Jakarta. Tapi, demi mimpi ketakutan tersebut harus dikalahkan.

Aku melakukan wawancara bersama beberapa pelamar yang katanya juga Alumni Pencerah Nusanatara, bahkan aku sempat mendengar slentingan bahwa ada satu dari pelamar yang dijagokan oleh pimpinan yayasan. Sontak, semangat berjuang turun drastis.

Dari 100% jadi mendekati 0%. Rasanya buat apa berjuang kalau nyatanya sudah ada yang dijagokan. Tapi aku ingat perkataan Kak Liza saat itu, bahwa apapun yang didengar, cukup jadi Nurmalasari yang akan selalu berjuang memberikan yang terbaik.

Seleksi tidak berhenti di wawancara, aku diberikan tugas dan hanya diberi waktu 2x24 jam. Lebih dari itu, maka aku akan didiskualifikasi. Aku tidak memiliki waktu banyak pikirku. Perjalananku ke Surabaya dari Jakarta sudah 12 jam lebih. Belum tetek bengek selama perjalanan. Waktuku tipis.

Aku pun memutuskan menginap di kosan Alumni Pencerah Nusantara Penempatan Mentawai yang saat itu sedang menimba ilmu spesialis di Universitas Airlangga. Jika tidak salah waktu yang tersisa hanya sekitar 6 jaman untuk mengerjakan dan submit. 

Ya, aku berhasil menyelesaikan tugas pada detik-detik terakhir. Sudah tidak mikir apapun saat itu. Pun juga tidak tahu, apakah tugas yang aku kerjakan itu benar atau salah jawabannya. Rasanya sudah tidak peduli. Apapun hasilnya, aku sudah berjuang, pikirku.

Selang beberapa hari, aku mendapatkan email bahwa aku lolos menuju tahap akhir seleksi, yakni wawancara dengan pimpinan yayasan. Karena saat itu aku sedang di kampung, jika harus ke Jakarta lagi, sepertinya tidak memungkinkan. Jadi, aku meminta dispensasi untuk melakukan wawancara jarak jauh via Skype. Beruntungnya pihak yayasan membolehkan. Tanpa panjang lebar, aku pun langsung berangkat dini hari menuju Surabaya, mengingat sinyal internet di Lumajang sepertinya belum bisa jika harus untuk Skype.

Saat Skype, aku merasa gak bisa mendengar apapun jawaban yang keluar dari mulutku. Aku hanya membaca pesan dari Kak Liza yang begitu singkat, "Kakak bangga sama jawaban kamu, apapun hasilnya nanti". Untuk mengindari Nepotisme, maka selama proses Kak Liza sebagai koordinator tidak dilibatkan terlalu dalam.

Sampai tahap ini, aku masih mimpi rasanya. Hingga kabar bahagia itu menghampiriku, ya Nurmalasari diterima bekerja di CISDI. Sejak saat itu, mulailah kehidupanku di Jakarta.

Bersambung!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun