Dengan pengalaman melamar pekerjaan yang nol tersebut, aku nekat melamar pekerjaan di Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives. sebagai Project Officer Divisi Riset dan Pengembangan. Lagi-lagi Allah memang Maha Romantis. Perjuangan yang tidak gampang sehingga tepat per 29 Oktober 2015 aku secara resmi menjadi bagian dari Kantor Pusat Pencerah Nusantara ini.
Merasakan Pengalaman Tidur di Stasiun Pasar Senen hingga Numpang Mandi di MasjidÂ
Sehabis purna tugas sebagai Pencerah Nusantara, aku sebenarnya ditawari untuk membina Rumah Remaja oleh Bapak Rachmat Hargono. Cuma takdir menuntunku kepada keputusan yang tidak mudah, yakni melamar kerja di CISDI.
Dengan minimnya pengalaman kerja yang kumiliki, ada rasa minder menyeruap. Namun, karena pekerjaan yang ditawarkan sebagai peneliti junior merupakan pekerjaan yang sudah aku impikan sejak menjadi mahasiwa, jadi lagi-lagi aku bonek.
Beruntungnya aku masih menyimpan buku dari Pusat Pembinaan Karir dan Kewirausahaan Universitas Airlangga. Karena di dalamnya terdapat panduan pembuatan CV dan Cover Letter. Aku pun langsung membuat kedua persyaratan administrasi yang diminta CISDI tersebut.
Entah yang kubikin sudah baik atau belum, karena nyatanya aku tidak memiliki tempat untuk bertanya. Lebih tepatnya memang aku tidak bertanya, karena aku tidak ingin orang-orang tahu bahwa aku sedang "melamar pekerjaan".
Kak Liza Pratiwi, Wali Kelas Tim Mentawai yang juga Koordinator Divisi Riset dan Pengembangan, hanya memberiku semangat mengingat posisinya yang harus netral, "Mele berikan yang terbaik dari yang kamu punya. Itu saja pesan kakak", aku masih mengingatnya hingga sekarang.
Dukungan yang Kak Liza berikan saat kami berjumpa di pernikahan Liska, teman setim di Pencerah Nusantara, setelah aku cerita bahwa aku mendapat kabar (baik) dadakan kala sedang perjalanan menuju Ponorogo, tempat acara berlangsung.
Begitu saja sudah cukup bagiku. Aku pun langsung pesan tiket Kereta Api. Beruntungnya aku membawa baju yang cukup rapi untuk melakukan wawancara. Ah ini kedua kalinya aku wawancara kerja setelah wawancara Seleksi Pencerah Nusantara.
Karena tidak ada kerabat, jadi aku terpaksa menggelandang 1 hari 2 malam di Stasiun Pasar Senen dan Masjid. Rasa takut ada karena ini kedua kalinya aku ke Jakarta. Tapi, demi mimpi ketakutan tersebut harus dikalahkan.
Aku melakukan wawancara bersama beberapa pelamar yang katanya juga Alumni Pencerah Nusanatara, bahkan aku sempat mendengar slentingan bahwa ada satu dari pelamar yang dijagokan oleh pimpinan yayasan. Sontak, semangat berjuang turun drastis.