Mohon tunggu...
Nurmalasari
Nurmalasari Mohon Tunggu... Konsultan - Public Health Specialist

Passionate in Youth4Health & Mental Health | SDGs, Social Network, & Indigenous Enthusiasts

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Rokok VS Biofuel: Dari Tembakau untuk Bahan Bakar Masa Depan

26 Juli 2016   14:48 Diperbarui: 18 September 2018   15:34 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sekitar 1 miliar orang di seluruh dunia akan meninggal akibat rokok pada abad 21 jika pemerintah dan warga sipil tidak segera bertindak mengatasi epidemik penggunaan rokok” (WHO, 2008).

Kalimat di atas benar sekali. Rokok menjadi sesuatu yang dilematis bagi semua negara termasuk Indonesia. Bahkan Indonesia mendapat julukan sebagai surga bagi para perokok. Bagaimana tidak, dengan bea cukai yang rendah ditambah sifat pemalu masyarakatnya untuk menegur para perokok, Indonesia menjadi kawasan merokok yang paling strategis. Tak heran jika kini Indonesia menduduki peringkat ketiga untuk jumlah perokok terbanyak di dunia setelah India dan China (Ulfah, 2010)

Di negara industri maju, kini terdapat kecenderungan berhenti merokok, sedangkan di negara berkembang khususnya Indonesia, malah cenderung timbul peningkatan kebiasaan merokok. Laporan WHO menyebutkan bahwa jumlah perokok meningkat 2,1% per tahun di negara berkembang, sedangkan di negara maju angka ini menurun 1,1% per tahun. Penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa 64,8% pria dan 9,8% wanita di atas usia 13 tahun adalah perokok. Menurut Darmoji (1973), prevalensi merokok 96,1% pada tukang becak, 79,8% pada paramedis, 51,9% pada pegawai negeri, dan 36,8% pada dokter.

Selain itu, sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar, Indonesia menjadi pangsa bisnis yang besar. Berbagai perusahaan tumbuh pesat di Indonesia. Salah satunya adalah perusahaan rokok. Namun keberadaan perusahaan rokok ini menjadi dilema karena menimbulkan dampak positif dan negatif. Pabrik-pabriknya, baik yang besar maupun kecil, yang telah sukses maupun yang baru muncul, telah banyak menyerap tenaga kerja dan berperan aktif dalam pembangunan. Sebuah dilema memang jika pabrik-pabrik rokok ini tidak diperbolehkan lagi untuk memproduksi bahan yang salah satu bahannya terbuat dari tembakau ini.

Selama ini, masyarakat memang masih memperdebatkan untung-rugi racikan daun tembakau alias  rokok. Ditinjau dari kesehatan, rokok diketahui mempunyai lebih dari 4.000 senyawa kimia berbahaya yang menyebabkan berbagai macam penyakit, di antaranya kanker, paru-paru, jantung, impoten, gangguan janin dan sebagainya. Rokok menjadi penyebab utama kematian di dunia (IranIndonesian Radio, IRIB World Service, 30 Mei 2011). Kebiasaan merokok sendiri tidak hanya merugikan si perokok, tetapi juga bagi orang di sekitarnya. Selain itu, asap rokok merupakan polutan bagi manusia dan lingkungan sekitarnya. Bukan hanya bagi kesehatan, merokok juga menimbulkan masalah di bidang ekonomi.

Pemerintah  tampaknya setengah hati mengeluarkan kebijakan larangan merokok atau menutup industri rokok. Pasalnya, tahun 2009 cukai rokok menyumbang pendapatan negara sebesar 53 trilyun, tahun 2010 mencapai Rp 53,3 trilyun (Solikhah, 2010). Jumlah pemasukan yang lumayan fantastis dari satu sektor saja. Memang agak sulit mencari bandingnya dari sektor lain, seperti BUMN yang hanya bisa menyumbang sekitar Rp 34 trilyun.

Memang benar, industri rokok memberikan kontribusi pendapatan negara, namun berdasarkan penelitian World Bank kerugian yang harus ditanggung  negara akibat dampak rokok jauh lebih besar (Solikhah, 2010). Kerugian tersebut meliputi  penyembuhan penyakit akibat  rokok, absen dari bekerja, hilangnya produktifitas dan pemasukan, kematian prematur, dan  menimbulkan kemiskinan lebih lama. Kebanyakan perokok terdiri dari mereka yang bergolongan berpendapatan rendah.

Berdasarkan data Sensus Ekonomi Nasional tahun 2005, pengeluaran keuangan rumah tangga perokok untuk konsumsi rokok menunjukkan angka  cukup besar, mencapai 11,5%. Angka itu lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk urusan pendidikan yang hanya 3,2%, kesehatan 2,3%, dan konsumsi ikan serta daging 11%. Sebagai contoh, seorang petani di Wonosobo  menghabiskan Rp 274 ribu per bulan untuk merokok, namun merasa keberatan atas biaya Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP)  anaknya yang hanya Rp 7.000 per bulan. Biaya besar lainnya yang tidak mudah untuk dijabarkan termasuk berkurangnya kualitas hidup para perokok dan mereka yang menjadi perokok pasif.  Belum lagi penderitaan  bagi mereka yang harus kehilangan orang yang dicintainya karena merokok. Semua ini merupakan biaya tinggi yang harus ditanggung (Solikhah, 2010).

Berbagai usaha untuk mengurangi produksi dan konsumsi rokok telah banyak dilakukan. Berbagai kampanye anti rokok, penerbitan undang-undang, dan pengawasan telah dilakukan. Pemerintah Indonesia pun membuat sejumlah aturan yang membatasi ruang gerak iklan rokok di media massa, walaupun peraturan-peraturan tersebut dibuat dengan "setengah hati", karena di satu sisi, peraturan itu dibuat untuk membatasi ruang gerak industri rokok dengan alasan kesehatan, tapi di sisi lain pemerintah juga mengharapkan industri ini sebagai sumber pemasukan negara di saat keadaan ekonomi Indonesia kurang menguntungkan.

Baru-baru ini pemerintah juga berencana mengeluarkan RPP Tembakau yang akan melarang seluruh aktivitas komunikasi industri rokok dengan konsumennya, seperti iklan, promosi, sponsorship, bahkan CSR. Namun, hal ini mengundang pro dan kontra yang masih sulit dicari jalan keluarnya. Berbagai kebijakan juga telah dikeluarkan terkait perlindungan terhadap perokok pasif melalui penyediaan ruang khusus bagi para perokok. Namun, masih menemui kendala karena kesadaran masyarakat untuk mematuhi aturan masih rendah. Tidak hanya itu, penyuluhan tentang bahaya rokok pun semakin gempar dilakukan namun tidak  digubris sama sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun