Setelah upacara kelulusan, aku dipanggil ke ruang BK dan diberitahu bahwa aku direkomendasikan untuk mengikuti Ujian Seleksi Penerimaan Siswa Baru di SMAN 2 Lumajang. Ya, SMA terbaik di Kabupaten Lumajang dengan lulusan yang tak diragukan lagi.
Aku pulang, memberi kabar kepada Bapak Ibukku, meminta doa restu kepada mereka agar diberikan kemudahan ketika menjalani tes masuknya. Akupun menjalani seleksi demi seleksi di SMA yang ada di Jantung Kota Lumajang itu. Tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa aku akan menjadi anak kota dengan aku sekolah di kota.
Pengumumanpun keluar dan namaku tercantum sebagai salah satu siswa baru di SMAN 2 Lumajang. Kegundahan pun muncul di antara isak tangis kebahagiaan dan keharuan.
“Kalau aku sekolah di sini, setiap hari aku akan naik bis ke sekolah. Biaya bis lak mahal. Biaya yang harus dibayar untuk masuk dan selama sekolahpun mahalnya selangit.” Pikirku saat itu.
Akhirnya, aku memutuskan untuk mengikuti seleksi Kelas Akselerasi, dimana SMA hanya ditempuh dalam 2 tahun saja. Asumsiku, ketika aku diterima, setidaknya bisa meringankan beban bapak ibukku untuk membiayai sekolahku yang tak tercover oleh beasiswa, karena sekolah cuma ditempuh 2 tahun.
Namun, Allah berkehendak lain. Aku gagal masuk kelas itu, karena menurut Psikolog yang didatangkan saat tes masuk kelas Akselerasi itu untuk masuk kelas tersebut tak hanya anak rajin saja, tapi harus ber-IQ tinggi.
Beasiswa yang kudapat saat itu adalah keringanan SPP saja, selebihnya itu menjadi tanggungan Bapak Ibukku. Iya, mahal sekali apalagi setelah aku dimasukkan kelas R-SBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional), dimana setiap anak wajib punya buku sendiri, padahal bukunya harganya mahal. Telingaku sampai kebal karena ketahuan fotocopy buku dan ditegur sama guruku, serta mata pelajaran lain yang pernak-pernik tugasnya benar-benar menguras banyak tabunganku.
Saat itulah, aku dan bapak ibukku harus benar-benar menghemat apapun itu. Bapak Ibukku berjuang keras untuk mencari uang, bahkan ku tahu sampai hutang ke Juragannya. Tapi, ibukku selalu bilang, “Asalkan awakmu belajar serius, jadi anak pinter, masio utang-utang tak belani nduk”
Masyaallah, sampai segitunya bapak ibukku memerhatikan pendidikanku, aku menangis, aku tak bisa berbuat apa-apa saat itu. Mau kerja part time-pun tidak sempat, karena sekolah harus berangkat jam 5 pagi pulang jam 7 malam, karena harus mengerjakan tugas dulu, dimana tugasnya harus menggunakan komputer dan koneksi internet yang tak bisa ku kerjakan di rumahku yang notabene di pedesaan.
Sampai akhirnya aku kelas 3 SMA dan ramai-ramainya senior mempromosikan Universitasnya masing-masing. Aku hanya bisa menyimak saja. Ya, kuliah itu pasti mahal banget. Apa aku bisa kuliah?